Minggu, 21 Februari 2010

PENTINGNYA SEJARAH MARITIM DALAM HISTORIOGRAFI INDONESIA

Oleh: Ahmadin

(Bahan Kuliah sejarah maritim)

Sejarah Maritim merupakan salah satu bidang sejarah tematik yang bertujuan mengkaji tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan perkembangan aktivitas manusia di bidang kelautan. Karena itu, ruang lingkup kajiannya biasanya mencakup aktivitas pelayaran, perdagangan, perikanan, teknologi navigasi, perkapalan, budaya pesisir, perampokan, angkatan laut, dan sebagainya. Orientasi kajian ini dapat digunakan pada lingkup spasial baik lokal, nasional, regional, dan dunia internasional.
Jika dipersentuhkan secara korelatif antara pentingnya kajian sejarah maritim dengan kondisi faktual-obyektif geografis (wilayah) Indonesia, maka tentu saja akan dan masih dijumpai beberapa kondisi ironis yang memperihatinkan. Sebut saja cap atau label yang telah terlanjur diberikan pada Indonesia sebagai negara agraris, seakan telah menjadi sebuah kesepakatan sejarah yang demikian sulit untuk dibantah. Hal ini tentu saja berangkat dari realita bahwa mayoritas rakyat Indonesia sejak dahulu kala memang telah menjadikan sektor pertanian sebagai penopang ekonomi keluarga.
Selain itu, jika menengok beberapa peninggalan sejarah terutama monumen-monumen, maka akan ditemukan beberapa simbol karya masyarakat agraris di masa lampau. Hal ini dapat disaksikan pada munomen raksasa sekaliber Candi Borobudur, Mendut, Pawon, Prambanan, Kalasan, dan sebagainya. Bahkan memasuki era modern, predikat sebagai negara agraris pun tetap melekat kental pada Indonesia. Lihatlah tatkala strategi politik agraria populis diterapkan, tengoklah ketika strategi politik agraria sosialis diimplementasikan, dan saksikanlah saat ideologi kapitalis menjadi kiblat politik di bidang agraria.
Gelar sebagai negara agraris inilah, sesungguhnya yang sangat kontras dengan kondisi nyata yang dimiliki oleh Indonesia. Betapa tidak, jika melihat struktur geografis negara ini, maka diperoleh keterangan bahwa wilayahnya terdiri atas gugusan pulau-pulau yang tersebar dari Sabang sampai Marauke atau sebaliknya. Bahkan posisi strategis yang dimiliki oleh Indonesia, yakni berada pada jalur pelayaran dan perdagangan laut internasional antara dunia Barat dan Timur pun menjadi penanda sebuah negara bahari.
Mengacu pada kondisi faktual mengenai posisi geografis Indonesia tersebut, mengisyaratkan bahwa negara yang notabene kaya akan sumber daya alam ini menjadi bagian penting dari aktivitas pelayaran dan perdagangan dunia internasional. Bahkan gugusan pulau-pulau yang dimiliki, dapat disatukan oleh aktivitas laut dalam bentuk pelayaran dan perdagangan antar pulau. Hal ini sekaligus merubah paradigma lama yang cenderung keliru menganggap laut adalah pemisah, menjadi pandangan baru yakni laut itu berfungsi menghubungkan antara satu tempat dengan tempat lainnya.
Hal lain yang tidak kalah menarik untuk diungkap, yakni proses kedatangan bangsa Austronesia dari Yunan Cina Selatan ke Nusantara yang kemudian dianggap sebagai nenek moyang bangsa Indonesia. Perjalanan yang konon menggunakan perahu cadik, merupakan aktivitas yang terkait dengan sejarah maritim. Demikian pula persebaran etnis di berbagai pulau di Nusantara, adalah aktivitas yang sangat terkait dengan sejarah maritim. Dalam perkembangan selanjutnya, aktivitas ekonomi dan jaringan perdagangan antar pulau pun terjadi antara lain ditandai oleh tumbuh dan berkembangnya kota-kota pelabuhan. Lagi-lagi hal ini merupakan bagian integral dari kajian sejarah maritim.
Kenyataan tersebut, memberi gambaran kepada kita betapa sejarah maritim memiliki lingkup kajian yang sangat luas. Karena itu, aktivitas kemaritiman sesungguhnya adalah sebuah komunikasi lintas budaya dengan menjadikan laut sebagai mekanisme pemersatu dalam upaya mencapai integrasi nasional sebagaimana yang diharapkan bersama. Pentingnya lintas budaya dan penciptaan kesatuan melalui hubungan laut, dikemukakan oleh Fernand Braudel sebagai berikut:

The sea ... provides unity, transport, the menas of exchange and intercourse...but it has also been the geat devider, the obstacle that had to be overcome ... (laut...mengungkinkan adanya persatuan, pengangkutan, sarana pertukanan dan perhubungan ... Namun demikian laut juga telah menjadi pemisah yang hebat, suatu halangan yang harus diatasi.
Uraian tersebut, menunjukkan bahwa laut memang memiliki beberapa peran vital dalam menciptakan sejumlah aktivitas atau kegiatan. Meskipun demikian, di balik pengakuan akan pentingnya laut sebagai mekanisme pemersatu, justru laut dianggap dapat menjadi pemisah yang hebat. Karena itu, dengan jalinan hubungan yang tercipta melalui berbagai kepentingan (bidang) secara langsung akan menjebol sekat pemisah antar tempat (pulau) yang seharusnya tidak terjadi.
Lihatlah ketika jaringan pelayaran dan perdagangan Nusantara terbentuk, yakni sebelum dan sesudah kedatangan bangsa barat dalam 3 (tiga) jalur yakni: pertama, jalur yang menghubungkan antara Malaka dengan perairan Kepulauan Natuna, laut Sulawesi (pesisir utara pulau Kalimantan dan pulau Sulawesi) dan seterusnya kepulauan Maluku atau Philipina atau sebaliknya. Kedua, jalur yang menghubungkan antara kawasan barat dan timur Nusantara dengan melintasi perairan Laut Jawa, perairan Sulawesi Selatan (Selayar), perairan Sulawesi Tenggara, laut Banda dan seterusnya kepulauan Maluku atau sebaliknya. Ketiga, jalur yang menghubungkan pesisir utara Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Laut Banda, dan terus kepulauan Maluku.
Sekadar digambarkan bahwa dari sekian banyak rute pelayaran dan perdagangan di perairan Nusantara, laut Jawa-lah yang paling ramai. Hal ini terkait dengan posisi laut Jawa yang berada di bagian tengah kepulauan Indonesia. Selain itu, laut Jawa memiliki kedudukan strategis dalam jalur lalu-lintas perdagangan dunia yang ramai antara Malaka, Jawa, dan Maluku. Berfungsinya laut Jawa sebagai jembatan penghubung pusat-pusat dagang di sepanjang pantai, pada gilirannya memberi andil penting terhadap tumbuh dan berkembangnya kota-kota dagang di Nusantara. Adapun kota-kota dagang yang dimaksud yakni Banten, Batavia, Cirebon, Semarang, Demak, Rembang, Tuban, Pasuruan, Gresik, Surabaya, Probolinggo, Panarukan, Buleleng, Lampung, Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Sampit, Sambas, Makassar, Sumba, Kupang, Larantuka, dan sebagainya.
Kenyataan sejarah yang juga tidak bisa dipungkiri bahwa masuk dan berkembangnya agama-agama di Indonesia, tidak terlepas dari peran aktivitas atau kegiatan maritim. Sebut saja ajaran agama Hindu yang lebih awal masuk dan berpengaruh di Indonesia yakni sejak abad ke-5 atau abad ke-7 M, lalu ajaran agama Islam yakni abad ke-7 dan 8 M dan menjadi agama kerajaan sekitar abad ke-13 M.
Perbandingan lainnya terkait dengan pentingnya aktivitas kemaritiman sebagai bagian dari penulisan sejarah Indonesia yang dapat dikemukakan yakni lima jaringan perdagangan (commercial zones) sekitar abad ke-14 dan 15. Pertama, jaringan perdagangan Teluk Begal, yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Sri Lanka, Birma (kini Myanmar), dan pesisir utara serta barat Sumatra. Kedua, jaringan perdagangan Selat Malaka. Ketiga, jaringan perdagangan yang meliputi pesisir timur Semenanjung Malaka, Thailand, dan Vietnam Selatan (jaringan perdagangan laut Cina Selatan). Keempat, jaringan perdagangan Laut Sulu, yang meliputi pesisir barat Luzon, Mindaro, Cebu, Mindanao, dan pesisir utara Kalimantan (Brunai Darussalam). Kelima, jaringan Laut Jawa, yang meliputi kepulauan Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, pesisir barat kalimantan, Jawa, dan bagian selatan Sumatra.
Khusus di Sulawesi Selatan, juga dapat digambarkan bahwa betapa pentingnya aktivitas maritim dalam bentuk pelayaran dan perdagangan, pada gilirannya telah menjadikan Makassar sebagai kota pelabuhan yang ramai. Betapa tidak, jaringan perdagangan telah terbentuk antara Makassar dengan beberapa tempat seperti Cina, Kepulauan Hindia Belanda Bagian Timur, Singapura, dan sebagainya. Demikian pula saat Selayar menjadi pusat perdagangan kopra terkenal atau The Regional Coconut Centre, pun tidak terlepas dari posisi geografis dan jalur perdagangan yang memungkinkan menjadi bagian dari aktivitas maritim di Nusantara.
Singkatnya, dapat dikatakan bahwa sejarah maritim dalam kenyataannya merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dengan penulisan sejarah Indonesia baik terkait dengan ekonomi, politik, pertumbuhan dan perkembangan kota, masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara, pertumbuhan dan perkembangan kerajaan, migrasi atau mobilitas penduduk, dan sebagainya.

B. Pentingnya Kekuatan Laut Dalam
Menentukan Jalannya Sejarah

Mengawali uraian tentang pentingnya kekuatan laut, maka tentu saja menarik ketika kita memperhatikan sebuah pernyataan perihatin yang pernah dilontarkan oleh Alfred Thayer Mahan. Ilmuan berkebangsaan Belanda ini, mengatakan bahwa: “para sejarawan pada umumnya tidak mengenal keadaan laut, karena mereka tidak menaruh perhatian khusus terhadapnya. Selain itu mereka juga tidak mempunyai pengetahuan khusus tentang laut, dan mereka tidak mengindahkan pengaruh kekuatan ini yang sangat menentukan jalannya peristiwa besar dunia”.
Pernyataan Mahan tersebut, dapat dimaknai sebagai wujud keperihatinan sekaligus tantangan bagi tanggung jawab dan kewajiban ilmiah para sejarawan. Bahkan seolah ia hendak mengajak kita untuk memberi porsi yang pantas bagi laut dalam kajian sejarah, dengan merujuk pada asumsi bahwa sederet peristiwa besar dunia tidak luput dari peran vital dunia maritim (laut).
Berdasarkan perspektif teori Mahan, ada 6 unsur yang menentukan dapat tidaknya suatu negara berkembang dengan kekuatan laut, yaitu: kedudukan geografi, bentuk tanah dan pantainya, luas wilayah, jumlah penduduk, karakter penduduk, dan sifat pemerintahnya termasuk lembaga-lembaga nasional. Aspek geografis dalam pandangan Mahan sangat penting sekali, dengan menjadikan Inggris, Belanda, dan Prancis sebagai perbandingan. Sebagai negara kepulauan, Inggris menurut beliau tidak mempunyai pembatasan darat sehingga dalam sejarahnya tidak perlu memikirkan ekspansi dan pertahanan darat. Berbeda dengan Prancis dan Belanda yang harus memperkuat pertahanan daratnya.
Mengenai keadaan tanah, Mahan berpendapat bahwa Inggris dan Belanda tidak bisa menggantungkan hidup seluruhnya kepada tanahnya (berbeda dengan Prancis dan Amerika Serikat yang dikaruniai tanah yang subur), terpaksa harus mencari nafkah di laut. Demikian pentingnya letak geografis suatu wilayah, mendorong sejarawan memulai uraiannya dengan menampilkan kondisi lingkungan fisik suatu daerah.


* * *
Bersambung..................................



Referensi :

Sulistiono, Singgih Tri. 2004. Pengantar Sejarah Maritim Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas.

Braudel, Fernand. 1976. The Mediterranean and Mediterranean World in the Age of Philip II (Terjemahan S. Reynold) Vol. I (New York: Haper Colophon Book.

Tobing, D.L. 1961. Hukum Pelayaran dan Perdagangan Ammanagappa Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara

Ahmadin. 2006. Pelautkah Orang Selayar: Tanadoang dalam Catatan Sejarah Maritim. Yogyakarta: Ombak.

Touwen, L.J. 2001. Shipping and Trade in the Java Sea Region 1870-1940: A Collection of Statictics on the Major Java Sea Ports. Leiden: KITLV Press.

Soekmono. 1995. Pengantar Sejarah Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

Tjandrasasmita, Uka Ed. 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: Balai Pustaka.
Hasymy, A. Ed. 1989. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Bandung: Almaarif

Poelinggomang, Edward L. 2002. Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kenijakan Perdagangan Maritim. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia

Hall, Kenneth R. 1985. Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia. Honolulu: University of Hawaii.

Heersink, Christian 1995. The Green Gold of Selayar: A Socio-Economic history of an Indonesian Coconut Island. Amsterdam: Vriye Universiteit.

Lapian, A.B. 1974. dalam buku J.C. van Leur dan F.R.J. Verhoeven. Teori Mahan dan Sejarah Kepulauan Indonesia. Jakarta: Bhatara

Alfred Thayer Mahan. 1965. The Influence of Sea Power Upon History 1660-1873. London: Methuen University Paperbacks.
Leur, J.C. van, dan F.R.J. Verhoeven. 1974. Teori Mahan dan Sejarah Kepulauan Indonesia. Jakarta: Bhatara..

Kamis, 18 Februari 2010

SUMPAH PEMUDA SETELAH 81 TAHUN

Judul artikel ini merupakan salah satu manifestasi bentuk keprihatinan sosial dan kekhawatiran kultural atas kondisi bangsa dewasa ini yang sedang bergumul dalam krisis identitas. Betapa tidak, gairah nasionalisme dalam berbagai dimensi kehidupan seolah bukan lagi bagian integral dalam berbangsa dan bernegara. Kerena itu, membutuhkan sebuah proses permenungan bersama melalui kesadaran sejarah.
Sadarkah kita bahwa para pendiri republik ini dengan susah payah dan nyawa sebagai taruhannya, telah menyatukan rasa fanatisme sukuistis-kedaerahan menjadi rasa persatuan berbasis keindonesiaan. Mengapa ia harus dikotak-kotakkan kembali dalam wajah otonomi daerah, yang dalam tataran praktisnya rasa kedaerahan kembali menjadi perekat. Bahkan pemekaran wilayah banyak terjadi, karena sentiment-community berdasarkan latar etnik.
Mencermati aneka persoalan bangsa sekaligus pudarnya rasa kebangsaan tersebut, menunjukkan bahwa substansi keindonesiaan itu memang seakan hilang secara perlahan. Representasi aspirasi dan amanah rakyat yang dahulu dititip di tangan segelintir orang karena dianggap memiliki cita-cita yang sama, sekarang tidak mampu memberi contoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan keterwakilan rakyat di dewan pun sekarang mulai digugat dan dipertanyakan.
Berangkat dari sejumlah persoalan kebangsaan dan keindonesiaan tersebut, maka sepertinya diperlukan sebuah spirit baru sumpah pemuda yang kontekstual dengan kondisi zaman. Meskipun demikian, menggali aspek historis Sumpah Pemuda tentu saja harus dilakukan untuk mengawal spirit baru tersebut.
Tentang Sumpah Pemuda
Jika ditelusuri secara historis maka dapat diketahui bahwa kelahiran Sumpah Pemuda dilatari oleh pertemuan antara organisasi pemuda lokal berkebudayaan nasional masa 1930-an dengan yang radikal. Dari sinilah kemudian terwujud sebuah kesatuan politik nasional yang berasal dari Perhimpunan Indonesia.
Sekadar digambarkan bahwa organisasi kedaerahan seperti Jong Java yang didirikan 1915, Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Celebes (1918), Jong Minahasa (1918), Sekar Roekoen (1919), dan Jong Batak Bond (1925). Mereka yang tergabung dalam organisasi kedaerahan ini, terdiri atas kaum pemuda dan pemudi yang berlatar keluarga berstatus sosial tinggi. Dengan kata lain bahwa mereka merupakan utusan dari daerahnya masing-masing untuk ditugaskan menuntut ilmu atau memperoleh pendidikan lanjutan di Pulau Jawa.
Benedict R. Anderson sang penulis buku ”Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistence”, menjelaskan bahwa kesamaan di antara mereka terletak pada pendidikan Belanda yang mereka miliki dan sikap terbuka terhadap kultur barat termasuk konsep kemandirian politik dan kebangsaan. Identitifikasi terhadap wilayah mereka inilah yang kemudian melahirkan semangat nasionalisme sekaligus mengakhiri kekonservatifan dalam spektrum politik nasional.
Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928, pun lalu diperingati sebagai hari besar nasional di Indonesia. Hal ini tentu saja bukan sekadar sumpah untuk persatuan, tetapi karena pada saat kongres inilah pertama kali diperdengarkan lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman di depan publik.
Memaknai Indonesia
Indonesia dalam konteks harapan dan tataran realita sepertinya bagai api jauh dari panggang. Karena itu, menggugat realitas keindonesiaan kita di hari bersejarah ini, adalah sebuah tanggung jawab kultural dan tugas mulia terutama kaum muda yang peranannya dahulu telah diabadikan dalam deretan nama-nama founding-father dan bene maritus republik ini. Untuk menemukan Indonesia yang hilang, maka upaya menemukenali akar kata Indonesia dan latar historis pengadopsian istilah ini menjadi slogan integratif seharusnya dijadikan roh dan spirit untuk menghadirkan kembali cita-cita bangsa menuju masa depan yang menjanjikan.
Jika ditinjau dari asal usul penggunaannya, maka kata “Indonesia” awalnya hanya merupakan penyebutan (penamaan) para ilmuan Belanda untuk mahasiswanya yang berasal dari gugusan pulau yang kemudian bersatu dengan nama Indonesia. Karena kebiasaan menggunakan kata ini, sehingga suatu ketika saat dibutuhkan sebuah nama negara sebagai ultimate goal dari perjuangan para pemuda dalam kancah pergerakan nasional, maka nama ini kemudian diadopsi. Hanya dengan menambah satu kata lagi hingga menjadi “Indonesia Merdeka”, maka kedua istilah ini pun dinobatkan sebagai mekanisme intergrasi.
Prasyarat untuk itu sekaligus demi tujuan perjuangan, maka setiap orang harus bersedia menanggalkan segenap perbedaan berbau sukuistis dan sebaliknya diakumulir dalam satu gerakan kolektif berdasarkan cita-cita yang sama. Simbol perjuangan pun kemudian dilengkapi dengan perpaduan serarik kain merah dan putih, hingga menjadi sebuah bendera dengan masing-masing warna memiliki makna.
Penemuan slogan integratif kemudian menjadi spirit perjuangan, gerakan kolektif berprinsipkan persatuan pun mewarnai pencapaian cita-cita sehingga dengan istilah Indonesia, maka semangat perjuangan berdasarkan ikatan kedaerahan ditanggalkan. Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatra, Jong Minahasa, dan berbagai kelompok pejuang lainnya terakumulasi dalam nama yakni Indonesia.
Demikian pula secarik kain merah dan putih yang sebelumnya hanya tergeletak kaku serta hanya dapat dijadikan bahan pakaian, lalu seakan hidup dan memiliki roh. Ia berkibar bersama semangat kaum intelektual muda, penjajah harus diusir, Indonesia harus merdeka, dan hal ini bisa tercapai melalui persatuan.
Menganalisa secara interpretatif keinginan kuat para pemuda bangsa untuk mempersatukan aneka suku dari gugusan pulau dari Sabang hingga Marauke dalam satu bingkai negara kesatuan, maka persoalan kekuatan integrasi itu sangat menarik. Betapa tidak, pengajuan komitmen untuk mendirikan negara merdeka dalam peristiwa sumpah pemuda yang hanya dihadiri oleh sekitar 100 orang, tetapi mampu tampil sebagai representasi dari jumlah penduduk Indonesia kala itu yakni 50 juta. Mungkin di sinilah makna kebangsaan harus diletakkan dan diakui sebagai gejala psikologis “sense of belonging together”, yang terbentuk melalui keinginan bersatu karena memiliki sejarah (masa lalu) yang sama, sadar bahwa mereka adalah satu kesatuan, dan memiliki cita-cita yang sama.
Representasi kaum muda dalam mengemban amanah rakyat Indonesia, juga tercermin melalui peristiwa proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pada penghujung bunyi teks proklamasi tertera kalimat “atas nama bangsa Indonesia: Soekarno-Hatta”. Hal ini juga menunjukkan betapa saktinya istilah Indonesia yang berfungsi sebagai alat propaganda, dan kembali terjadi peristiwa sejarah penting mengenai peran kaum muda yang mampu tampil sebagai wakil rakyat Indonesia.
Menyadari negara yang akan dibangun ke depan adalah terdiri atas ragam etnik dan kultur, maka dinobatkan satu lagi slogan integratif yakni konsep “Bhineka Tunggal Ika”. Bahkan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan dibuatkan semacam referensi yakni UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara sekaligus landasan dan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku.
Spirit Baru Sumpah Pemuda
Persoalan lainnya sekitar krisis keindonesiaan yakni kebangsaan yang dalam teks sumpah pemuda disebutkan “berbangsa satu” dan benarkah kita masih berbangsa satu. Dengan menggunakan pendekatan imaginasi historis, maka pertanyaan philosofis yang muncul yakni mengapa rasa kebangsaan dalam wujud keterwakilan aspirasi dahulu relatif lebih mudah terjadi di antara perkembangan pola pikir masyarakat yang terbatas.
Sebaliknya, sekarang justru di tengah pengetahuan tentang konsep bernegara dalam kategori mapan tetapi begitu sulitnya rasa kebangsaan dalam bentuk mewakilkan aspirasi pada orang lain diwujudkan. Kursi kekuasaan diperebutkan, caci maki dan pencarian kesalahan orang lain secara politik menjadi kegemaran, dan kecenderungan ironis lainnya termasuk gonta-ganti pemimpin/penjabat karena alasan tidak mampu.
Mengapa ketidakmampuan itu tidak dijadikan mampu melalui dukungan kolektif dan bukannya mengganti dengan yang lain padahal jaminan kemampuan juga belum ada. Demikian pula tindakan korupsi di kalangan para penjabat, mencerminkan krisis rasa kebangsaan. Rasionalnya, mengapa mesti ada perbuatan korupsi untuk pengayaan diri secara pribadi sementara kondisi bangsa akibat krisis sangat memperihatinkan.
Disinilah pentingnya sebuah spirit baru sumpah pemuda dalam bentuk komitmen baru pula, yakni berbangsa satu yakni bangsa yang bebas dari korupsi, bangsa yang bebas dari tekanan dominasi asing, bangsa yang mencintai identitas kulturalnya sendiri. Spirit baru lainnya yakni berbahasa satu yakni kemampuan memiliki satu bahasa dalam menyelenggarakan pemerintahan dan dalam mewujudkan cita-cita nasional. Kemudian bertanah air satu yang direfleksikan dalam bentuk kesadaran bahwa faktor perbedaan letak geografis dan spasial bukan menjadi batas demarkasi atas nama perbedaan berdasarkan ukuran etnik yang rentan terhadap konflik.**

MASIH SAKTIKAH PANCASILA?

Mempertanyakan perihal kesaktian Pancasila dalam kapasitasnya sebagai dasar negara bahkan ”ideologi” bangsa, tampaknya sangat penting terutama untuk menatap keindonesiaan kita hari ini dan masa mendatang. Betapa tidak, perjalanan panjang sejarah Indonesia sebagai negara yang katanya telah merdeka dan berdaulat hingga kini masih dihadapkan pada aneka persoalan serius.
Problema bangsa yang cukup memperihatinkan antara lain, ancaman disintegrasi oleh sejumlah konflik di tanah air, semangat nasionalisme dipertanyakan, keadilan sosial diragukan, keterwakilan rakyat disanksikan, semangat daerahisme yang semakin subur, dan sejumlah masalah lainnya. Akumulasi dari sejumlah masalah tersebut, menyebabkan semakin rapuhnya pondasi dan kroposnya pilar kebhinekaan yang dulu selalu dijadikan sebagai tag line atau semboyan bangsa Indonesia.
Pertanyaan menarik dikemukakan kemudian, yakni dari mana akar persoalan tersebut harus digali untuk menentukan ranting-ranting solusinya?. Untuk menjawab pertanyaan ini, maka tentu saja hampiran logika sosial sangat tepat digunakan terutama untuk mengetahui apakah benar Pancasila itu seperti yang dimengerti oleh orang-orang Indonesia sendiri serta seberapa kuat fungsi Pancasila menjadi dasar hidup bermasyarakat di Indonesia?.
Sejenak Menengok Sejarah
Jika ditilik dari aspek perubahan politiknya, maka sejak Indonesia memproklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 telah mengalami banyak perubahan yang sangat mendasar. Sebut saja peralihan dari rezim yang cenderung liberal ke bentuk otoriter yang akrab dikenal sebagai Demokrasi terpimpin. Kemudian perubahan ciri pemerintahan di bawah dominasi sipil ke peran kaum militer, dari sistem kepartaian yang multi-mayoritas ke sistem mayoritas tunggal, dan dari orde lama ke orde baru. Bahkan sebuah rezim bernama orde reformasi sebagai kekuatan politik baru menjadi satu babak tersendiri dari sejarah Indonesia kemudian.
Saat Indonesia meniti periode dengan nuansa sosio-politik tersendiri pada masing-masing masa tersebut, mereka tetap mengukuhkan Pancasila sebagai dasar dalam bertindak dan bahkan menyuarakan bahwa setiap kehendak akan lahirnya perubahan sesungguhnya atas nama Pancasila. Lihatlah ketika semangat revolusi diteriakkan atas nama Pancasila dan politik pun kemudian dilantik menjadi panglima.
Tengoklah saat semangat revolusi digantikan oleh kekuatan baru yakni spirit pembangunan dan pengembangan ekonomi dianggap sebagai dewi fortuna yang akan menyelamatkan rakyat dari penderitaan pun atas nama Pancasila. Bahkan kala semangat Nasionalisme, Agama, dan Komunisme dilebur secara integratif dalam satu ruh bernama NASAKOM, pun sebagian kalangan masih menganggapnya sebagai pengejawantahan dari Pancasila.
Keyakinan kukuh atas ideologi ini pada gilirannya menganggap bahwa jiwa Pancasila adalah jiwa NASAKOM dan karenanya setiap Pancasialis haruslah menjadi seorang nasakomis. Dari pandangan seperti inilah kemudian mendorong Soekarno melantik Pancasilan sebagai ”hogere optrekking” atau sintese yang lebih tinggi antara Declaration of Independent milik Amerika dan Manifesto Komunis kepunyaan Rusia.
Singkat cerita bahwa ketika rezim bercorak revolusioner ini tumbang, suasana kehidupan politik pun berubah menjadi pembangunan yang berorientasi pada pengembangan perekonomian yakni masa pemerintahan orde baru di bawah komando Soeharto. Pada awal pemerintahan rezim baru inilah terjadi redefinisi mengenai dasar negara dan tafsir tunggal atas Pancasila pun segera dibuat.
Eksistensi Pancasila
Pada tahun 1978 MPR mengesahkan ketetapan Nomor II/MPR/1978 mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang kemudian akrab dikenal sebagai P-4. Pasal 1 dari ketetapan tersebut berbunyi: ” Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ini tidak merupakan tafsir Pancasila sebagai dasar negara, dan juga tidak dimaksud menafsirkan Pancasila Dasar Negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, Batang Tubuh, dan penjelasannya”.
Selanjutnya dalam ayat 4 ketetapan tersebut berbunyi: ”Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ini merupakan penuntun dan pengangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara, serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh”.
Implikasi akan adanya tafsir tunggal atas Pancasila ini, pada gilirannya menjadikan dasar negara ini seolah sebagai sebuah konsensus pada tataran normatif meskipun belum tentu pada ranah nilai. Serentak dengan itu, kekuatan politik orde baru mempermulus ideologi ini tampil menjadi falsafah negara serta menjadi sumber dari segala sumber hukum.
Karena itu, tidak heran jika upaya implementasi dari sejumlah falsafah yang terkandung dalam Pancasila disosialisasikan melalui program penataran P-4. Sosialisasi dalam proyek indoktrinasi ini tidak hanya berlangsung dalam jajaran pegawai pemerintah akan tetapi juga berlaku pada peserta didik terutama saat mereka baru menduduki bangku sekolah atau kuliah.
Hal ini tentu saja dimaksudkan agar pengetahuan mengenai Pancasila sebagai pandangan hidup, keperibadian dan jiwa seluruh rakyat Indonesia tertatanam dalam benak setiap peserta didik. Serentak dengan itu, di setiap lingkungan pendidikan pun berlaku kententuan bahwa pretasi dan hasil belajar peserta didik tidak hanya dilihat dari aspek kognitif semata tetapi moral tidak kalah penting.
Dalam kondisi seperti inilah kewibawaan seorang guru, dosen, pimpinan di berbagai jajaran/instansi menjadi sangat tampak dan bahkan tindak penghormatan yang berlebihan tidak jarang menjadi pemandangan yang seolah sebuah kemutlakan. Singkatnya, bahwa Pancasila yang dikukuhkan sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara tidak hanya berfungsi sebagai ideologi politik tetapi juga telah menjadi pedoman hidup bermasyarakat mengawal nilai-nilai kultural bangsa Indonesia.
Meskipun demikian, dalam perkembangannya ideologi negara yang telah diprediksi akan tahan banting dan tetap eksis di tengah sejumlah tangan zaman ini pun mengalami semacam pendangkalan makna dan bahkan kehilangan pamor. Konsep Bhineka Tunggal Ika sebagai alat pemersatu bangsa, kini seolah hanya istilah klasik yang kurang dimengerti oleh sang pemiliknya sendiri. Konsekuensinya, Pancasila hari ini dan mungkin besok (tapi semoga tidak) seolah hanya kebanggaan apologik dari warisan masa lampau bangsa Indonesia.
Berbagai kenyataan inilah, yang mengajak kita untuk mempertanyakan kembali kesaktian Pancasila dan tentu saja banyak pihak yang memiliki andil dalam proses pendangkalan makna atas ideologi negara ini. Sebut saja program penataran P-4 bagi pegawai negeri dan pemimpin-pemimpin masyarakat yang pernah menjadi kewajiban, rupanya tidak steril dari bahaya sloganisme yang dangkal sebagaimana kekhawatiran Neils Mulder akan adanya kecenderungan kebudayaan Jawa. Kecurigaan akan adanya praktek dominasi kultur inilah yang menodai kebhinekaan.
Selain itu, kegagalan pemerintah mengimplementasikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat juga menjadi faktor penting memuadarnya kesaktian Pancasila. Konsekuensinya, lahirlah penolakan atas sistem pemerintahan yang sentralistik untuk diubah menjadi desentralistik yang berimplikasi pada suburnya kembali semangat daerahisme.
Persoalan lain datang dari lembaga pendidikan kita yang seolah kurang memberi porsi yang layak atas pendidikan moral, sehingga berujung pada lahirnya generasi yang kabur akan identitas kultur nasionalnya sendiri. Singkatnya, bahwa kelima sila dari Pancasila yang seharusnya dipedomani dalam hidup berbangsa dan bernegara tampaknya mengalami problema saat ia harus berpapasan dengan sejumlah realitas kebangsaan hari ini.
Karena itu, pertanyaan menarik sekaligus bahan renungan kolektif kita yakni haruskah pembiaran atas semakin hilangnya kesaktian Pancasila diterima sebagai efek wajar dari sebuah modernitas?. Adakah kesadaran dalam wujud kemauan dan keinginan nasional mampu tercipta untuk memberi ruh sehingga Pancasila kembali sakti?. Inilah dua kunci utama yang menentukan apakah Pancasila itu masih sakti atau tidak. (Harian Fajar, 1 Oktober 2009).

Rabu, 17 Februari 2010

KAPALLI; KEARIFAN LOKAL ORANG SELAYAR

Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengungkap salah satu kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Selayar bernama Kapalli’. Pesan kultural kapalli’ dalam konteks ini, dipahami sebagai salah satu sistem sosial yang memiliki nilai penting bagi masyarakat yang lahir dari sebuah tindakan sosial (atau perilaku manusia) yang telah berlangsung lama dalam mata rantai kehidupan dengan tujuan yang panjang. Tindakan terjadi karena tuntutan situasi dan sebagai alat pencapaian tujuan. Karena itu, komponen dasar dari satuan tindakan adalah tujuan, alat, kondisi, dan norma. Mengingat pentingnya nilai budaya ini, maka beberapa aspek yang akan dikaji adalah akar historis kelahiran Kapalli’ sebagai sistem sosial masyarakat Selayar, fungsi dan peran kapalli’ dalam kehidupan masyarakat, bentuk implementasi kearifan lokal ini dalam kehidupan sosial di era modern, dan menawarkan bentuk atau alternatif strategi kebudayaan yang ditempuh untuk ”menghidupkan” kembali kearifan lokal tersebut.

Kata Kunci: Kapalli’ Sebagai Kearifan Lokal

Pendahuluan
Di tengah arus globalisasi dengan kompleksitas persoalan yang mengiringi, tarikan magnetik ke arah modernisasi dengan berbagai gagasan kemajuan (idea of progress) membawa implikasi sosial yang sangat luas. Bahkan manusia saat ini telah terjebak dalam sebuah masa yang transience (goncang) yang telah mencederai mentalitas manusia, melahirkan kegoncangan pada fikiran yang berada di otaknya dimana nilai budaya itu bermarkas sebagai pembentuk dan pengendali sikap serta perilaku. Karena itu, diperlukan sebuah pencerahan demi masa depan untuk menata dunia baru yang bermakna pada kebangkitan bangsa di tengah arus globalisasi yang terus menggema.
Untuk menemukenali jenis upaya sekaligus faktor penentu dari eksisnya nilai budaya dalam suatu masyarakat, maka dalam menentukan arah perubahan harus dihubungkan dengan fungsi sosial. Berdasarkan perspektif teori Sibernetik tentang General System of Action dijelaskan bahwa masyarakat dapat dianalisis dari sudut syarat-syarat fungsionalnya yakni: (1) fungsi mempertahankan pola, (2) fungsi integrasi, (3) fungsi pencapaian tujuan, dan (4) fungsi adaptasi (Hoogvelt dalam Syani, 1995: 72).
Sebagaimana yang berlaku umum pada berbagai masyarakat dengan corak budaya yang dimiliki, masyarakat Selayar yang dijadikan sebagai unit analisis dalam penelitian ini pun telah melewati fase pergumulan dalam rangkaian proses yang cukup panjang. Karena itu, dapat dipastikan bahwa pemaknaan terhadap nilai budaya termasuk makna tradisi serta pesan kultural sebagai sosial kontrol pun tampak bervariasi. Pemaknaan yang variatif ini, pada gilirannya menampakkan tiga warna (corak) budaya dalam masyarakat yakni tradisional, semi modern, dan modern.
Hal ini berangkat dari sebuah asumsi rasional bahwa budaya dewasa ini bukan lagi selalu dilekatkan pada masyarakat bersangkutan sebagai alat untuk menilai karakter seseorang. Sebaliknya, yang tampak justeru adalah budaya orang sebagai respon secara individual atas diri dan lingkungannya dalam wujud rasionalisasi tindakan. Satu catatan yang tak boleh terlupakan yakni keempat fungsi sosial tadi dalam tataran konteks dan upaya implementasinya, harus diletakkan secara parsial masa dimana Tacot Parson hidup dan orang Selayar dengan karakternya sendiri. Dalam pengertian lain bahwa cara orang Selayar mempertahankan pola, mengintegrasikan diri, mencapai tujuan dan mengadaptasikan keadaan sebagai respon atas gerak kemajuan sudah dipastikan berbeda.
Salah satu produk budaya atau warisan nilai kearifan lokal masyarakat Selayar yang menarik diletakkan sebagai tema dari counter culture menghadapi dominasi budaya luar adalah pesan kultural bernama kapalli’. Pemaknaan terhadap pesan leluhur ini, dalam perkembangannya mengalami dilema pada prospeknya. Betapa tidak, di satu sisi harus diakui bahwa nilai kontributifnya penting dalam mengawal norma atau kaidah dalam kehidupan, tetapi di sisi lain “terpaksa” ia harus ditanggalkan demi tuntutan modernisasi atas nama kemajuan sehingga penyimpangan (deviasi) terhadap nilai kultural itu pun terjadi.
Proses penyimpangan yang terjadi atas nilai-nilai dan norma tersebut, pada gilirannya akan melahirkan semacam anomi yang ditandai oleh kecenderungan individu bertindak tanpa ada pola baku yang dijadikan sebagai pijakan berpikir. Karena itu, upaya menemukan alternatif strategi untuk tetap menghidupkan nilai-nilai yang terkandung dalam kerarifan lokal ini menjadi penting dilakukan.
Berdasarkan latar belakang yang diuraiakan sebelumnya, maka permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: (1) bagaimana akar historis kelahiran Kapalli’ sebagai sistem sosial masyarakat Selayar; (2) apa fungsi dan peran kapalli’ dalam kehidupan masyarakat; (3) bagaimana implementasi kearifan lokal ini dalam kehidupan sosial masyarakat Selayar di era modern sekarang; dan apa strategi kebudayaan yang ditempuh untuk ”menghidupkan” kembali kearifan lokal tersebut.

Kajian Literatur

Dalam bahasa Indonesia, kapalli’ sepadan dengan istilah pantang atau larangan. Meskipun demikian, makna kultural yang dikandungnya tidaklah sesempit dan sesederhana sebagaimana telah ditafsirkan secara keliru oleh sebagian orang. Bila menggunakan analisis fungsional, maka kapalli’ dapat dilihat dari aspek tujuan atau alat (strategi kebudayaan), dan aspek normatif (sosial kontrol).
Hasil pengamatan atau penelitian awal yang telah dilakukan menunjukkan beberapa contoh yang tergolong kapalli’ yakni assalla (menghina orang lain), anjai’ bangngi (menjahit pada malam hari), akkelong ri pappalluang (bernyanyi di dapur), attolong di baba’ang (duduk di pintu), appattolongi lungang (menduduki bantal), tinro sa’ra’ allo (tidur menjelang magrib), bonting sampu’ sikali (kawin dengan sepupu satu kali), addopa-dopa (tengkurap), ta’meya menteng (kencing berdiri), appau suma-suma (ngomong dengan kata-kata sombong atau angkuh), ambokoi tau nganre (pergi meninggalkan orang yang sedang makan), dan masih banyak lagi yang lain.
Kapalli’ baik sebagai istilah maupun pesan kultural bermakna pantangan, dalam perkembangannya telah dimaknai beragam yang ditentukan oleh seberapa besar kadar kepercayaan dan keyakinan seseorang. Karena itu, motif atas keyakinan kukuh sebagian orang terhadap pesan kultural ini, serta penyebab memudarnya nilai karena pengaruh modernisasi dalam wajah rasionalisasi tindakan menjadi inti kajian dalam tulisan ini.
Pesan kultural kapalli’ dalam konteks ini, dipahami sebagai salah satu sistem sosial yang memiliki nilai penting bagi masyarakat Selayar. Bila merujuk pada perspektif Parson (dalam Johnson, 1986: 106-108), maka sistem sosial ini lahir dari sebuah tindakan sosial (atau perilaku manusia) yang telah berlangsung lama dalam mata rantai kehidupan dengan tujuan yang panjang. Menurutnya, tindakan terjadi karena tuntutan situasi dan sebagai alat pencapaian tujuan. Karena itu, komponen dasar dari satuan tindakan adalah tujuan, alat, kondisi, dan norma.
Variabel lain yang mengiringi laju modernitas, pun menjadi bidang garapan sehingga multi faktor dapat dihubungkan dengan eksistensi dan resistensi kapalli’ dalam kehidupan masyarakat Selayar. Karena itu, analisa ini dihubungkan dengan perspektif Moore (1979: 29-30) bahwa modernization is process of rationalization of social behavior and social organization (modernisasi adalah proses rasionalisasi dari perilaku sosial dan organisasi sosial).
Kondisi sosial-budaya masyarakat Selayar dari masa ke masa, pada prinsipnya merupakan bagian integral yang tak terpisahkan secara parsial sebagai suatu dinamika. Karena itu, upaya menemukenali kapalli’ sebagai sistem sosial dalam masyarakat Selayar, merupakan bagian dari sebuah tanggung jawab kultural di era modern. Selain itu, pengungkapan secara deskriptif-analisis tentang salah satu identitas bangsa ini akan membantu proses penyadaran kita bahwa menghadirkan kearifan-kearifan lokal atau local genius di tengah keruhnya otentitas budaya kita mutlak dilakukan.
Untuk memahami lebih jelas mengenai kapalli’ sebagai suatu sistem sosial dalam masyarakat Selayar, dalam penelitian ini menggunakan teori “fungsionalisme struktural” dari Parson (Garna, 1996: 55). Hal ini berangkat dari sebuah pertimbangan dan asumsi bahwa pesan kultural ini (kapalli’) berkaitan erat dengan sistem sosial (kemasyarakatan) yang saling terangkai antara satu bagian dengan bagian lainnya. Karena itu, penelusuran secara mendalam terhadap aspek fungsional dari pesan kultural ini akan dihubungkan dengan beberapa teori pendukung.
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, suatu sistem sosial merupakan tahap lanjutan dari tindakan sosial yang terpola. Karena itu, analisis tentang kapalli’ sebagai sistem sosial masyarakat Selayar dikaji dengan menggunakan perspektif teori tindakan sosial voluntaristik milik Talcot Parson. Menurut penulis buku “The Structure of Social Action” (1937) ini, bahwa tindakan sosial harus dilihat dalam kerangka alat-tujuan (means-ends framework) dengan beberapa orientasi yakni: (1) tindakan diarahkan pada tujuannya atau memiliki suatu tujuan, (2) tindakan terjadi dalam suatu situasi yang sudah pasti elemennya dan elemen lainnya digunakan sebagai alat mencapai tujuan, dan (3) secara normatif tindakan diatur sehubungan dengan alat dan tujuan (Johnson, 1986: 106).
Dalam menganalisis tentang sistem sosial, Parson menggunakan pendekatan metodologi fungsionalisme struktural. Menurut perspektifnya, bahwa strategi ini memungkinkan untuk dapat menganalisa regularitas dalam pelbagai relasi yang biasa dianggap sebagai struktur. Demikian pula gagasan mengenai fungsi, memungkinkan kita dapat menganalisa sumbangan apa yang telah diberikan oleh individu sebagai bagian dari struktur terhadap sistem atau fungsi yang dijalankan dalam sistem bersangkutan (Parson, 1975: 100-117, Beilharz, 2003: 293-295).
Teori umum (general theory) milik parson mengenai tindakan sosial menekankan orientasi subyektif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu. Pilihan-pilihan ini secara normatif diatur dan dikendalikan oleh nilai dan standar normatif bersama. Hal ini berlaku untuk tujuan yang ditentukan oleh individu serta alat yang digunakan untuk mencapai tujuan, serta untuk pemenuhan kebutuhan fisik yang mendasar ada pengaturan normatif.
Permasalahan sekitar bagaimana orientasi-orientasi individu dan tindakan-tindakan mereka terjalin dalam suatu sistem sosial, pada prinsipnya dipengaruhi oleh dua elemen dasar yakni orientasi motivasional dan orientasi nilai. Menurut Parson bahwa orientasi motivasional merujuk pada keinginan individu yang bertindak itu untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecewaan. Sementara itu, orientasi nilai merujuk pada standar-standar normatif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu (alat dan tujuan) dalam prioritas sehubungan dengan adanya kebutuhan dan tujuan yang berbeda (Johnson, 1986: 114-115).
Untuk dapat membedakan antara kekuatan yang mengikat dari norma dan kaidah, lemah atau kuatnya mengikat kehidupan bermasyarakat, secara teoritis dikenal empat faktor penentu yakni; Pertama, cara-cara (usages) adalah suatu bentuk norma yang menunjukkan suatu perbuatan individu baik atau buruk dan kekuatannya sangat lemah mengikat. Kedua, kebiasaan (folkways) suatu norma mengikat individu yang mempunyai kekuatan yang lebih besar, bila dibandingkan dengan “usgea”. Ketiga, tata kelakuan (mores) adalah cerminan sifat dasar dari kehidupan manusia dan dilaksanakan sebagai alat pengawas, baik secara sadar, maupun secara tidak sadar dan berlangsung diantara anggota kelompoknya. Keempat, adat istiadat (custom) adalah tata kelakuan yang bersifat kekal dan terintegrasi dengan pola perilaku masyarakat (Bohannan, 1963: 17).

Metode Penelitian
Penelitian ini mengungkapkan dan menggambarkan tentang Kapalli’ di tengah arus evolusi modernitas dengan studi kasus masyarakat Selayar.
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Kepulauan Selayar Provinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan lokasi ini sebagai subjek penelitian karena beberapa alasan, antara lain: (1) walaupun telah banyak tulisan mengenai nilai-nilai kearifan lokal suatu masyarakat, namun demikian dapat dipastikan bahwa nilai-nilai yang terkandung di balik pesan kultural kapalli’ memiliki kekhasan tersendiri; (2) pengaruh modernitas merupakan ancaman fundamental terhadap rapuhnya institusi sosial masyarakat termasuk Selayar, sehingga penelitian mengenai kapalli’ ini akan menghasilkan suatu strategi kebudayaan untuk mengcounter dominasi budaya luar.
Jenis penelitian ini adalah kualitatif. Dalam perspektif Bogdan dan Taylor (1993: 5) jenis penelitian ini menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang dapat teramati. Sementara itu, Sugiono memandangnya sebagai penelitian naturalistik, yakni suatu metode penelitian yang meneliti kondisi obyek secara alami.
Melihat jenis dan sifat penelitian yang memfokuskan pada sejumlah nilai di balik institusi sosial, maka pendekatan penelitian ini diarahkan pada pengaruh modernitas terhadap perubahan nilai berhubungan dengan makna kearifan lokal, sehingga dibutuhkan semacam gerakan sosial berdimensi historis untuk tetap memelihara nilai-nilai tersebut.
Pendekatan seperti ini dalam pandangan Maleong (1991: 9), yakni pendekatan harus diarahkan pada latar belakang individu secara holistik (utuh), dengan tidak mengisolasi individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis. Akan tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keseluruhan. Pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan atas alasan rasional bahwa metode kualitatif ini memungkinkan untuk mengadakan penelitian secara holistik, dimana segala bentuk tindakan individu maupun kelompok bukan hanya disebabkan oleh satu faktor melainkan dari banyak faktor (multi factors).
Karakteristik informan dalam penelitian ini meliputi: (1) individu atau keluarga yang telah melakukan tindakan menyimpang serta alasannya, (2) mereka yang masih tetap memelihara nilai kapalli’ hingga sekarang, (3) keluarga-keluarga pada masing-masing pemukiman dengan kategori hidup tradisional, semi modern, dan modern; (4) para tokoh adat/pemuka masyarakat, dan (5) staf pemerintahan. Melalui informan ini yang dijadikan sebagai obyek diharapkan dapat memperoleh data yang lengkap sesuai dengan sasaran dan tujuan penelitian.
Informan ini dapat dikategorikan menjadi tiga, yakni informan kunci, informan ahli, dan informan biasa. Penentuan informan yang akan diteliti lebih jauh, tidak dilakukan secara acak tetapi dilakukan secara purposif. Untuk itu, informan yang dipilih tersebut relatif repsentatif untuk menggambarkan permasalahan sekitar eksistensi kapalli’ di tengah kehidupan masyarakat modern. Namun demikian dalam proses penelitian, juga senantiasa dilakukan cross-check informasi terhadap informan yang lain untuk menemukan variasi persepsi maupun kenyataan.
Karakteristik responden (informan) dalam penelitian ini, dapat dikategorikan atas dua komponen besar, yakni berdasarkan status sosial dan lingkungan sosial (tempat tinggal). Komponen pertama terdiri atas:
1. Tokoh masyarakat, antara lain: (a) Tokoh agama, dimaksudkan untuk memperoleh keterangan mengenai seberapa kuat pengaruh Islam terhadap perubahan orientasi nilai budaya lokal atau sebaliknya; (b) Tokoh Adat, dimaksudkan untuk memperoleh data mengenai masih seberapa eksis nilai-nilai luhur tersebut; dan (3) Aparat desa, dimaksudkan untuk menjaring data mengenai masih seberapa kuat pengaruh kearifan lokal terhadap sistem pemerintahan.
2. Masyarakat umum, dimaksudkan untuk memperoleh data tentang pemahaman masyarakat secara umum tentang warisan budaya mereka yakni kapalli’.
3. Kaum muda dan anak-anak, dimaksudkan untuk memperoleh data mengenai apakah nilai-nilai kearifan lokal ini masih terwariskan kepada generasi muda melalui fungsi keluarga.
4 Kaum terpelajar atau peserta didik, dimaksudkan untuk mengetahui apakah nilai-nilai ini diwariskan melalui pendidikan dan pengajaran serta seberapa besar minat peserta didik dalam merevitalisasi nilai-nilai tersebut.
5. Guru/Pengajar dimaksudkan untuk mengetahui apakah nilai-nilai kultural ini dipelajari sebagai materi muatan lokal atau tidak.
1. Aparat pemerintah dan instansi terkait, dimaksudkan untuk memperoleh data mengenai peran pemerintah dalam upaya merevitalisasi nilai-nilai luhur dan kearifan lokal.
Sementara itu, komponen yang kedua, yakni berdasarkan lingkungan sosial (tempat tinggal), terdiri atas:
1. Individu yang hidup di tengah masyarakat yang relatif masih tradisional dengan pola berpikir sederhana.
2. Individu yang hidup di tengah masyarakat semi modern (transisi).
3. Individu yang hidup di tengah masyarakat yang modern dengan pola pikir rasional.
4. Individu yang hidup di tengah masyarakat dengan tingkat heterogenitas sosio-kulural yang tinggi.
5. Individu yang tinggal di tengah masyarakat agraris dan maritim

Proses pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan 4 (empat) macam teknik, yakni (1) observasi, yakni pengamatan dan pencatatan yang sistematik terhadap gejala yang diteliti sesuai tujuan penelitian, (2) wawancara, yakni tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung, (3) dokumentasi, yakni pengambilan data melalui dokumen (Usman, 2001: 54-73) dan (4) Diskusi Kelompok Terfokus atau Focussed Group Discussion (FGD).

Jenis penelitian ini adalah penelitian yang sifatnya deskriptif yakni suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data kualitatif karena berkaitan erat dengan sifat unik dari suatu realitas sosial dalam. Analisis data dilakukan seiring dengan kegiatan penelitian tanpa memisahkan waktu dan keseluruhan data yang dikumpulkan (tentunya yang relevan untuk penelitian) dianalisis pada tingkat reduksi data dengan model analisis deskriptif.

Bahasan Hasil Penelitian

Hasil penelitian tentang kapalli’ di tengah arus evolusi modernitas, digambarkan sebagai berikut.

Sejarah Kelahiran Kapalli’

Sangat sulit menentukan kapan institusi sosial ini mulai menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Selayar, namun dapat diperkirakan bahwa kehadirannya berawal sejak tahap dinamika pemikiran manusia berada dalam alam mitologi hingga metafisik yakni fase trial and error. Lahirnya mitos yang dihubungkan dengan sesuatu, disebabkan oleh refleksi dari keingintahuan manusia terhadap apa yang dilihat atau dirasakannya sedangkan kemampuan untuk itu relatif terbatas.
Menurut Jasin (2002: 3-4) bahwa tidak seimbangnya antara dorongan ingin tahu dengan kemampuan berpikir manusia itulah, yang menyebabkan lahirnya mitos. Sebagai contoh adalah fenomena alam seperti pelangi yang tidak diketahui hal ikhwal mengenai keberadaannya, dengan pemikiran pragmatis menganggapnya sebagai selendang bidadari. Demikian pula fenomena alam lainnya seperti gempa bumi, dimitoskan bahwa yang maha kuasa sedang marah.
Mitologi sekitar fenomena alam seperti pelangi tersebut, tidak hanya berhenti pada pandangan (asumsi) bahwa itu hanya sekadar selendang bidadari. Bahkan melalui pelangi tersebutlah, dianggap para bidadari itu turun dari langit untuk mandi pada sungai tertentu yang dipilihnya. Karena itu, singkat cerita bahwa pemitos-sakralan atas hal ini pada gilirannya melahirkan anggapan bahwa dilarang seseorang menunjuk ke arah pelangi (dianggap lancang) karena dapat berakibat jari telunjuk hilang sebagian (sepotong) atau menjadi pendek (buntung).
Hal ini tampak pada kenyataan yang ditemukan pada masyarakat Selayar sewaktu mengadakan penelitian, yakni seorang ibu yang sedang mencuci pakaian dan tentu kemudian akan mandi di sebuah sungai sedang memarahi anaknya kerena menunjuk ke arah pelangi bersama beberapa bocah lainnya yang sedang bermain dengan beberapa buah kenari yang dipungutnya.
Hal tersebut menunjukkan pada tindakan atau perbuatan yang berhubungan dengan kapalli’ yakni larangan untuk menunjuk ke arah pelangi yang dianggap dapat mengakibatkan jari telunjuk seseorang menjadi buntung. Pertanyaan menarik kemudian, yakni benarkah larangan seorang ibu tersebut cukup beralasan sehingga demikian takut dan khawatirnya dia akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada anaknya yang dengan tidak sengaja menunjuk ke arah pelangi tersebut?. Kemudian apakah benar sudah ada di kalangan mereka yang pernah mengalami hal tersebut, sehingga demikian ditakutinya akibat dari perbuatan itu dan mengapa tindakan tadi justru tidak melahirkan kejadian apa-apa?.
Untuk menjawab rasa penasaran ini, maka perihal kepercayaan bahwa dapat menjadi buntung jari telunjuk seseorang yang menunjuk ke arah pelangi itu kemudian saya tanyakan pada sang ibu tadi. Arah pertanyaan saya sekitar mengapa tindakan itu dilarang dan apakah sudah ada yang pernah mengalaminya?, serta mengapa justru anak ibu tadi tidak mengalami apa-apa, padahal itu sudah menujuk pada pelangi tadi?. Adapun jawaban yang dikemukakan kurang lebih seperti berikut ini:

“...inakke sebenarna nugele tonjua ku isse baji. Tapi inni pangajara battu ri tau toa jari ditte tau konni-konninjo minahang mamoki nasaba soddi tidek anu ri olo tidak tonja anu konni-konni. Memang tau potte limanna gara-gara panjokjokna mange ri tarauhenjo, tide’pa nu kujanjang mata tapi minangi bede’ kajariang ri olo. Masala anakku geleji potte’ limanna, injo nasaba lakua tau ri olota ri kokko’ karamenta bede’ ampa kebetulan gele ri sangaja nanjo’jokki” (Dg. Sitti, Wawancara 16 Mei 2009).

Terjemahannya:

“saya sebenarnya juga kurang jelas. Akan tetapi ini adalah pesan leluhur sehingga kita sekarang harus mematuhinya sebab jika tidak ada yang dahulu itu maka mustahil ada yang sekarang. Sebenarnya perihal mengenai seseorang yang buntung jari tangannya karena menunjuk pada pelangi, saya juga belum pernah lihat secara kasat mata akan tetapi konon pernah kejadian dulu. Soal anak saya yang tidak buntung jari tangannya padahal sempat menunjuk pada pelangi, itu karena sempat menggigit jari tangannya setelah menunjuk berdasarkan pesan leluhur”

Uraian tersebut menunjukkan bahwa kepatuhan terhadap larangan atau kapalli’ yang dihubungkan dengan pelangi, bukan karena kebetulan mereka yang percaya karena pernah menyaksikan secara kasat mata atau secara langsung kejadian tertentu sebagai sanksi atas pelanggarannya. Sebaliknya, keyakinan (kepercayaan) kental terhadap pesan leluhurlah yang menjadi kekuatan utama yang pada gilirannya menjadi sumber kepatuhan. Selain itu, rupanya tindakan atas sesuatu yang dianggap kapalli’ atau mengandung sanksi (akibat fatal) tertentu bagi mereka yang melanggar pun memiliki semacam penangkal terutama bagi mereka yang melakukan secara tidak sengaja. Dengan kata lain, ketentuan ini berlaku bagi mereka yang tidak paham atau mengerti dan tidak secara sengaja melakukan dapat melakukan tindakan tertentu sebagai wujud permintaan maaf.
Hal ini terbukti melalui tindakan yang dilakukan oleh sang ibu tadi saat anaknya secara tidak sengaja menunjuk kepada pelangi, secara spontan diperintahkan kepada anaknya untuk segera menggigit jari tangannya (telunjuk) sebagai tanda permintaan maaf (penyesalan) atas tindakan yang dianggap tabu (pemali) tersebut. Sekadar digambarkan bahwa menggigit jari dalam pengertian ini, hanya dilakukan dengan memasukkan jari telunjuk ke dalam mulut kemudian masing-masing gigi atas dan bawah saling merapat secara pelan ke arah jari telunjuk (tidak dilakukan dengan gigitan kuat).
Terkait dengan akar historis kelahiran kapalli’ yang telah ditelusuri berdasarkan contoh kasus tersebut, maka dapat dikemukakan antara lain bahwa proses kelahiran kapalli’ ini bersumber pada keyakinan kukuh pada pesan leluhur yang dipercaya sebagai sesuatu yang pernah terjadi pada masa lampau (pappasang tau ri olo). Meskipun tidak dapat ditentukan kapan persis kelahirannya, namun yang pasti bahwa generasi masyarakat Selayar belakangan tetap percaya dan yakin bahwa kejujuran (orang dulu) yang selalu junjung tinggi menghapus keraguan mereka atas sesuatu terutama yang terkait dengan pesan (pappasang).
Dalam kaitannya dengan hal ini kepercayaan atau keyakinan atas pesan leluhur, juga sangat terkait dengan perbuatan dusta yang merupakan bagian penting dari sederet tindakan yang tergolong kapalli’. Dalam pengertian lain bahwa mereka yakin bahwa orang-orang tua dulu tidak mungkin berbohong kerena mereka tau persis bahwa perbuatan bohong/dusta dapat mengakibatkan bibir atau bagian mulut lain akan bengkak (puru-puruang, Selayar).
Singkatnya, bahwa hal-hal yang terkait dengan kapalli’ dalam kenyataannya memang bervariasi berdasarkan tujuannya. Maksudnya, bahwa ada beberapa di antaranya yang memang terbukti secara empirik dan tentu saja sebagian hanya merupakan alat/cara untuk tujuan tertentu yang maksudnya baik.

Fungsi dan Peran Kapalli’
Kapalli’ sebagai hal yang dihubungkan dengan perbuatan tabu memiliki 3 (tiga) kategori utama yakni: Pappasang, Pappisangka, dan Pau-pau naseha’. Untuk kategori kapalli’ pertama, diyakini sebagai pesan leluhur yang tidak diperkenankan seseorang untuk melanggar atau mencoba melakukan sebab hal ini dipercaya sebagai karma (balasan yang pasti terbukti). Karena itu, dianjurkan orang tua mengajarkan hal-hal ini kepada anaknya sejak usia kanak-kanak (tahap pengenalan) hingga masa dewasa (pentingnya pengamalan). Pengabaian atas hal ini, sama artinya seseorang menyatakan diri bersiap menerima sejumlah sanksi dalam wujud kejadian-kejadian aneh.
Kapalli’ dalam kategori kedua, yakni berhubungan dengan larangan melakukan sesuatu karena diyakini telah terbukti dalam banyak hal meski tidak selamanya terjadi. Karena itu, kepada siapapun dianjurkan agar sabaiknya menghindari hal-hal yang tidak diperbolehkan tersebut dengan pertimbangan untuk terbebas dari kemungkinan-kemungkinan mengalami sesuatu kejadian (musibah, malapetaka).
Kapalli dalam kategori ketiga, yakni berhubungan dengan nasehat (etika) yang bertujuan baik terutama sebagai alat rekayasa sosial. Maksudnya, bahwa tindakan mempercayai kapalli’ dengan sejumlah sanksi dan akibat yang ditimbulkan, dapat menjadi alat pengontrol sosial. Dengan demikian, nilai-nilai luhur tetap terpelihara dalam berbagai bentuk interaksi sosial, sekaligus berfungsi sebagai strandar perilaku bagi anggota masyarakat.
Keberadaaan kapalli’ (pantangan) sebagai suatu institusi sekaligus sistem sosial mempunyai fungsi untuk mengatur (mengontrol) dan menentukan perilaku maupun kecenderungan setiap individu dalam menjalankan aktivitas kehidupan. Hal ini dapat terjadi karena proses pemaknaan terhadap nilai pesan kultural tersebut, telah berlangsung dalam interval waktu yang relatif lama, sehingga tindakan sosial yang telah terpola itu menjadi sebuah sistem sosial yang diyakini bersama (kolektif). Selain itu, adanya persamaan kepercayaan, identifikasi, dan asal-usul, sehingga nilai kapalli’ dapat terintegrasi dalam suatu kelompok.
Dalam hubungannya tindakan sosial, maka Kapalli’ sebagai pesan kultural dalam masyarakat Selayar sekaligus institusi sosial, dalam konteks ini dipahami sebagai fungsi kontrol terhadap tindakan individu. Hal tercermin melalui larangan menghina orang lain termasuk yang miskin atau menertawakan orang cacat fisik, seperti pada ungkapan: ”gele kulle assalla, kapalli’i” (tindak boleh menghina orang lain, pemali atau pantang). Maksud yang terkandung dalam pesan kultural ini, yakni ajaran leluhur yang tidak dibenarkan tindakan menghina orang lain karena boleh jadi dalam kepercayaan mereka akan ada balasan yang lebih dari itu. Mungkin ini terjadi secara tidak langsung, akan tetapi terbukti pada anak (keturunan) atau cucu yang mengalami nasib serupa.
Implikasi sosial dari pemaknaan terhadap pesan leluhur yang melarang menghina atau menertawakan orang lain tersebut, yakni menimbulkan rasa takut bagi mereka untuk melanggarnya dengan pertimbangan bahwa akan berdampak negatif terhadap keluarganya termasuk keturunan ataupun cucunya. Dalam konteks yang lebih luas lagi, unsur fungsional dari kappalli’ ini akan dihubungkan dengan konsep motivasional dan orientasi nilai.
Contoh larangan (kapalli’) lainnya yang menarik dikaji, yakni larangan berkeliaran atau mondar-mandir di luar rumah bagi anak-anak menjelang sholat magrib (saat matahari hendak terbenam di ufuk barat). Menurut kepercayaan masyarakat Selayar, bahwa menjelang magrib bukan hanya makhluk sebangsa manusia yang beraktivitas (atau menggunakan jalan raya), akan tetapi bangsa jin atau setan dan jenis makhluk halus lainnya pun beraktivitas pada saat ini. Karena itu, lahirnya larangan untuk berkeliaran dimaksudkan agar tidak diganggu oleh makhluk halus hanya karena kebetulan kita bertabrakan atau menyenggol anak-anak mereka yang dapat menyebabkan mereka murka.
Akibat dari murka mereka dapat menyebabkan anak-anak tak terkecuali orang dewasa, menderita sakit yang biasanya diawali dengan muntah-muntah berwarna kuning (tapi tidak selamanya). Untuk menyebut mereka yang menderita sakit atau muntah-muntah yang disebabkan oleh perbuatan setan ini, dalam bahasa setempat dinamakan Lasampero Setang. Bahkan menjelang magrib pun sangat dilarang mengendarai kendaraan dengan kecepatan tinggi terutama pada tempat-tempat tertentu yang dianggap keramat. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan sang pengendara menabrak makhluk halus yang dipercayai berkeliaran itu.
Untuk terhindar dari kemungkinan mengalami hal-hal seperti itu, maka ada beberapa cara yang ditempuh antara lain: (1) masuk ke dalam rumah saat menjelang magrib, (2) jika dalam keadaan terpaksa berada di perjalanaan pada waktu sepeti ini, maka dianjurkan mengucapkan kata “tabe” setiap kali melintas di persimpangan jalan, tikungan, dekat kuburan, dan tempat-tempat yang dianggap keramat lainnya, (3) mengucapkan salam (assalamu alikum) saat mendatangi tempat tertentu, (4) mengucapkan/ membaca surat Al-Ikhlas saat berjalan atau mengendara yang dimaksudkan agar setan menjauh. Hal ini tentu saja menjadi kebiasaan masyarakat Selayar sejak masuknya pengaruh Islam di daerah ini, bahkan beberapa surah pendek yang ada dalam al-Qur’an dijadikan sebagai alat pengusir setan (pa’bongka setan).
Khusus bagi mereka yang terlanjur mengalami kejadian (sakit) karena pengaruh Sampero Setan, maka proses penyembuhannya harus dipercayakan kepada mereka yang ahli (sanro). Selain diobati secara non-medis, biasanya penderita juga dianjurkan untuk menghidangkan sesajen di tempat kejadian dan salah satu jenis persembahan itu dinamakan abberasa didi (menghidangkan sesajen berupa beras berwarga kuning).
Sebuah kapalli’ yakni Appabangngi pabbissa manroang (membiarkan mangkok cuci tangan saat makan tidak tercuci hingga pagi) juga menarik untuk dikaji lebih mendalam. Betapa tidak, secara fungsional kapalli jenis ini memiliki tujuan ganda yakni sebagai tindakan preventif terhadap kemungkinan terjadinya pencurian dengan memanfaatkan hal ini untuk menyukseskan niat jahatnya. Dalam pengertian lain bahwa hal ini terkait dengan keahlian atau ilmu kesatian yang dimiliki oleh para pencuri yang mampu membuat seluruh penghuni rumah tertidur pulas hanya dengan memercikkan sisa air cuci tangan di mangkuk ke muka mereka. Inilah alasannya mengapa dianggap pemali membiarkan perabot rumah tangga ini dibiarkan tidak tercuci hingga pagi hari tiba.
Selain itu, tujuan lain dari larangan yang dianggap tabu ini yakni semacam alat rekayasa sosial yang dimaksudkan sebagai alat yang membuat kaum perempuan terutama anak gadis tidak malas mencuci piring. Dalam pengertian lain bahwa secara tidak langsung kategori kapalli’ seperti ini mengandung nilai-nilai pendidikan dalam wujud pembiasaan melakukan sesuatu.

Implementasi Kapalli’
di Era Modern

Kapalli’ baik sebagai istilah maupun pesan kultural bermakna pantangan, dalam perkembangannya telah dimaknai beragam yang ditentukan oleh seberapa besar kadar kepercayaan dan keyakinan seseorang. Karena itu, motif atas keyakinan kukuh sebagian orang terhadap pesan kultural ini, serta penyebab memudarnya nilai karena pengaruh modernisasi dalam wajah rasionalisasi tindakan menjadi inti kajian dalam tulisan ini.
Permasalahan sekitar bagaimana orientasi-orientasi individu dan tindakan-tindakan mereka terjalin dalam suatu sistem sosial, pada prinsipnya dipengaruhi oleh dua elemen dasar yakni orientasi motivasional dan orientasi nilai. Menurut Parson bahwa orientasi motivasional merujuk pada keinginan individu yang bertindak itu untuk memperbesar kepuasan dan mengurangi kekecewaan. Sementara itu, orientasi nilai merujuk pada standar-standar normatif yang mengendalikan pilihan-pilihan individu (alat dan tujuan) dalam perioritas sehubungan dengan adanya kebutuhan dan tujuan yang berbeda (Johnson, 1986: 114-115).
Orientasi motivasional, mencakup 3 dimensi yakni: (1) Dimensi kognitif, yakni merujuk pada pengetahuan orang yang bertindak itu mengenai situasinya, khususnya kalau dihubungkan dengan kebutuhan dan tujuan-tujuan pribadi. Dimensi ini mencerminkan kemampuan dasar manusia untuk membedakan antara rangsangan-rangsangan yang berbeda dan membuat generalisasi dari satu rangsangan dengan rangsangan lainnya; (2) Dimensi katektik, yakni merujuk pada reaksi apektif atau emosional dari orang yang bertindak itu terhadap situasi atau pelbagai aspek di dalamnya. Hal ini juga mencerminkan kebutuhan dan tujuan individu. Umumnya, orang memiliki suatu reaksi emosional positif terhadap elemen-elemen dalam lingkungan itu yang memberikan kepuasan atau dapat digunakan sebagai alat dalam mencapai tujuan dan reaksi yang negatif terhadap aspek-aspek dalam lingkungan itu yang mengecewakan; dan (3) Dimensi evaluatif, yakni merujuk pada dasar pilihan seseorang antara orientasi kognitif atau katektik secara alternatif. Orang selalu memiliki banyak kebutuhan dan tujuan, dan untuk kebanyakan atau kalau bukan semua situasi, ada kemungkinan banyak interpretasi kognitif dan reaksi katektik. Kriteria yang digunakan untuk memilih dari alternatif ini merupakan dimensi evaluatif.
Untuk mengungkap seberapa eksis dan terimplementasi nilai-nilai luhur atau kearifan lokal ini masyarakat Selayar di era modern sekarang, maka data dari informan yang dijaring untuk sementara divariasikan berdasarkan jenis data yang diperlukan. Elemen pertama yang sangat penting untuk dimintai keterangan adalah para tokoh masyarakat, antara lain: (1) tokoh agama, dimaksudkan untuk memperoleh keterangan mengenai seberapa kuat pengaruh Islam terhadap perubahan orientasi nilai budaya lokal atau sebaliknya; (2) tokoh adat, dimaksudkan untuk memperoleh data mengenai masih seberapa eksis nilai-nilai luhur tersebut; dan (3) aparat desa, dimaksudkan untuk menjaring data mengenai masih seberapa kuat pengaruh kearifan lokal terhadap sistem pemerintahan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di kalangan tokoh masyarakat, pun berbeda secara diferensiasif dalam memaknai kapalli’ tersebut. Hal ini tentu saja disebabkan oleh perbedaan sudut pandang masing-masing pihak mengenai fungsi dan orientasi nilai yang dikandungnya. Sebut saja Pak Sirajuddin yang akrab disapa Dg. Sira’ adalah tokoh agama sekaligus seorang guru pada salah satu Sekolah Dasar di Selayar, mengatakan bahwa:

Kedudukan kapalli’ sebagai pedoman hidup, sebenarnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Malahan keduanya bisa saling melengkapi dimana ajaran Islam memuat perintah dan larangan dan dalam kapalli’ juga mengandung semacam larangan yang tujuannya baik. Jadi, sama-sama berfungsi mengatur kehidupan masyarakat. Malahan jika orang tidak perduli pada sesuatu yang termasuk kapalli’, maka langsung mendapat ganjarannya sehingga orang banyak yang patuh karena takut. Cuma sayang sekali karena generasi sekarang, kurang percaya lagi dan nanti setelah ada yang menimpa dirinya baru percaya (wawancara, 17 Juni 2009).

Keterangan tersebut menjelaskan kepada kita bahwa kedua sistem norma yakni tradisi lokal dan Islam dapat saling melengkapi dalam banyak hal terkait dengan kehidupan bermasyarakat. Bahkan ia secara tidak langsung hendak menyampaikan bahwa ”lebih takut” kepada sanksi kapalli’ yang langsung diperoleh ganjarannya daripada ancaman dosa yang selalu dihubungkan dengan hari akhirat (hari kemudian). Selain itu, ia juga telah mengungkapkan wujud keprihatinannya pada implementasi nilai-nilai luhur ini dalam kehidupan bermasyarakat sekarang.
Wujud keprihatinan atas mulai memudarnya nilai-nilai luhur bernama kapalli’ pada masyarakat Selayar, juga tercermin melalui pengakuan yang dikemukakan oleh salah seorang tokoh adat. Lelaki tua yang berprofesi sebagai tukang basa (pembaca mantra dalam berbagai ritual tolak bala) ini akrab disapa Papa Samado’, menjelaskan bahwa saat ia melakukan ritual tolak bala (songkabala, Selayar) beberapa tahun belakangan ini sudah sangat kurang pesertanya. Mengenai penyebabnya, ia menjelaskan: ”mungking kurang tappa’mo tauyya, jari gelemo laporhatikang”. Ungkapan ini bermakna mungkin orang kurang percaya sehingga tidak terlalu diperhatikan lagi (Wawancara, 18 Juni 2009).
Sekadar digambarkan bahwa ritual songkabala (tolak bala) ini, di kalangan masyarakat Selayar (tapi tidak semua) dahulu merupakan hajatan tahunan yang rutin pelaksanaannya. Bahkan menurut keterangan salah seorang warga bahwa bukan hanya penduduk setempat yang meramaikan acara ini, tetapi orang Selayar yang merantau pun sesekali datang (pulang kampung) untuk berpartisipasi. Tujuan ritual ini menurut Samado’ antara lain adalah menghalau atau menangkal datangnya wabah penyakit atau bencana ke dalam kampung. Konon penyakit atau musibah akan menimpa suatu kampung, manakala sudah banyak bentuk pelanggaran norma yang dilakukan oleh warganya (termasuk dalam hal ini pengabaian terhadap kapalli’).
Keterangan menarik lainnya mengenai eksistensi kapalli’ di era modern sekarang, yakni sebagaimana yang diungkap salah seorang tokoh masyarakat bernama Papa Lihing, sebagai berikut:

”ana-ana’ konni-konni susai, nasaba kurangmo tappa injo mange ri pau-pau tau toa. Pappisangka labua’mo kelong-kelong, pappasang tau ri olo lapa ri boko tolimo. Jari sauang tommo, manna tarumpappi nampai sadara” (wawancara, 19 Juni 2009).

Terjemahan:

”Generasi muda sekarang tampak kurang percaya lagi pada nasihat orang tua. Sebagai contoh larangan dianggap bak nyanyian, pesan-pesan leluhur tak didengar lagi. Jadi biarkan saja, nanti setelah kena batunya baru mereka sadar”.

Ungkapan tersebut juga menunjukkan keprihatinan seorang tokoh adat atas semakin memudarnya nilai-nilai luhur lokal yang seharusnya menjadi pedoman hidup bermasyarakat. Bahkan satu hal menarik dan sedikit agak ironis yakni generasi muda yang kurang pecaya lagi pada kapalli’, setelah terbentur pada sesuatu baru mempercayainya. Hal ini diakui sendiri oleh Lihing tadi bahwa banyak di antara mereka yang berkunjung ke rumahnya untuk menanyakan banyak hal, misalnya: mengenai penyebab penyakit aneh yang diderita seseorang, perempuan yang telat dapat jodoh, anaknya cacat, usia perkawinannya tidak lama, dan sebagainya.
Mengenai implementasi kapalli’ di era modern sekarang, menarik dihubungkan dengan padangan informan sebagai berikut:

Kalau saya berpikir rasional, tentu saya mengatakan bahwa kapalli’ itu adalah suatu hal yang tidak wajar dipercayai. Tetapi kita masih sering lihat kejadian yang persis sama dengan ketentuan kapalli’ yang dilanggar dari aktivitas sebelumnya. Oleh karena itu, terkadang saya berpikir bahwa mungkin ada rahasia Tuhan yang belum saya ketahui sehubungan dengan kapalli’. Jadi saya masih berada di antara percaya atau tidak (Wawancara dengan Muhammad Aspah, Agustus 2009).

Uraian tersebut menunjukkan bahwa di kalangan masyarakat Selayar masih ada yang mempercayai kapalli’ dengan berpedoman pada beberapa kejadian yang terbukti dialami oleh mereka yang mengabaikan pesan kapalli’ tersebut. Hal ini dapat kita ketahui melalui keterangannya yang lain sehubungan dengan pertanyaan penelitian mengenai apakah ia pernah melihat atau mendengar kejadian yang dialami oleh seseorang karena melanggar kapalli’, sebagai berikut:

”..... ya. Saya pernah. Salah satu contoh bukti yang biasa saya kemukakan di sini adalah: contoh kapalli yakni ’seorang suami kapalli’ menyembeli hewan ketika istrinya dalam keadaan hamil, karena dapat berakibat bukuruk terhadap janin yang dikandungnya (anaknya akan cacat)’. Ketentuan kapalli’ ini pernah dilanggar oleh seorang suami dan ternyata setelah bayi yang dikandung oleh istrinya lahir, leher bayi itu luka seperti bekas sayatan pisau. Mungkin saja itu hanya kebetulan, akan tetapi begitulah kenyataannya. Wallahu a’lam bissawab” (Wawancara, Muhammad Aspah, Agustus 2009).

Keterangan tersebut menunjukkan bahwa masih ada sisa kepercayaan akan kapalli’ tersebut berdasar pada sejumlah kejadian yang meski kerap dianggap suatu yang kebetulan. Bukti kejadian terkait dengan kapalli’ juga dapat diketahui melalui keterangan sebagai berikut:

Kapalli’ adalah sesuatu yang tidak boleh dilakukan dalam kehidupan sehari-hari dan bertujuan agar setiap orang senantiasa berhati-hati dalam setiap pelerjaan. Sebagai contoh dapat saya kemukakan bahwa penah sepupu saya menolak ajakan makan dan meninggalkan rumah, ternyata ia mendapat kecelakaan (tabrakan). Jadi kapalli’ tergantung pada jenisnya yang membuat kita percaya atau tidak (Wawancara Hj. Andi Nur Asia, Agustus 2009).

Uraian tersebut menunjukkan bahwa kapalli’ masih dipercayai sebagai hal yang sakral sifatnya sehingga setiap orang harus hati-hati dalam bertindak. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa di antara rasa percaya dan tidak pada akibat kapalli’ ini, terkadang kondisinya atau bahkan fakta terbentang di depan mata. Karena itu, apakah sederet kasus kejadian yang menimpa seseorang yang terlibat pelanggaran atas kapalli’ tersebut harus dianggap sebagai sesuatu yang kebetulan?. Lalu bagaimana pula dengan anggapan bahwa sang pencipta hanya menciptakan sebab akibat?, Inilah pertanyaan yang membutuhkan jawaban secara arif.
Berdasarkan keterangan siswi kelas II pada salah satu SLTP di Selayar, bahwa dia sering mendengar dari orang tua tentang kapalli’ terutama saat sang ibu atau ayah menegur perbutannya dengan ucapan jangan begitu tidak baik (kapalli’). Hanya saja menurutnya, sangat disayangkan sekali karena sesuatu yang katanya tabu itu, tidak didasarkan atas alasan yang bisa masuk akal sehingga dapat dipercaya. Maksudnya, bahwa ketika sang anak menanyakan kenapa sesuatu itu dianggap kapalli’, maka jawabannya hanya mengatakan ”pokoknya dilarang menurut orang tua dulu”. Bahkan menurut pengakuan siswi ini, bahwa jika ia mencoba menanyakan alasan mengapa disebut kapalli’ maka dirinya dianggap terlalu cerewet (Salmi, wawancara 16 Juni 2009).
Keterangan lain diperoleh dari beberapa orang siswa yang mayoritas menjawab seragam, bahwa mengenai kapalli’ mereka tidak terlalu paham kecuali sering mendengar dan tanpa mengetahui apa maknanya. Demikian pula di sekolah mereka, menurut pengakuannya tidak pernah diajarkan sebagai bagian materi muatan lokal. Bahkan ada di antara mereka yang mengaku bahwa guru agamanya justru menganggap tidak perlu mempelajari hal-hal tersebut, karena dianggapnya tidak di ajarkan dalam agama Islam.
Uraian mengenai keterangan yang diberikan oleh siswa tersebut, menunjukkan bahwa dalam kenyataannya kapalli’ sebagai institusi sosial (kearifan lokal) tidak diwariskan (disosialisasikan) melalui fungsi keluarga. Hal ini terbukti bahwa si anak rupanya mengenal kapalli’ sebatas istilah saja tanpa mengetahui apa makna yang dikandungnya. Hal inilah yang kemudian menjadi hal menarik, karena keingintahuan siswa/anak sebagai peserta didik terhadap sesuatu tidak didukung oleh kemauan (kesadaran) orang tua untuk menjadi teman diskusi (sharing partner). Karena itu, keengganan para orang tua sebagaimana antara lain tampak pada contoh kasus ini, menunjukkan bahwa prospek kapalli’ dalam ancaman yang sangat serius terutama ada gejala suatu saat akan hilang sama sekali.

”Menghidupkan” Kembali Kearifan Lokal

Bila merujuk pada perspektif Bohannan (1963: 17) tentang kekuatan norma atau kaidah yang mengikat kehidupan bermasyarakat, maka dapat diketahui bahwa nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Selayar memang mengalami dilema pada prospeknya dan bahkan terancam punah. Sebut saja cara-cara (usages) terkait kearifan lokal dalam bentuk norma kekuatannya sudah sangat lemah mengikat. Selain itu, kebiasaan (folkways) sebagai norma yang mengikat individu, tata kelakuan (mores) sebagai cerminan sifat dasar dari kehidupan manusia dan dilaksanakan sebagai alat pengawas, baik secara sadar, tampak kurang mendapat perhatian lagi. Bahkan adat istiadat (custom) sebagai tata kelakuan yang bersifat “kekal” dan terintegrasi dengan pola perilaku masyarakat juga sudah tampak mengalami degradasi nilai.
Perubahan orientasi nilai pada pesan kultural bernama kapalli’ tersebut, harus diakui sebagai konsekuensi logis dari efek modernitas yang telah merubah cara berpikir manusia. Sebut saja kencenderungan manusia untuk menakar dan memaknai sesuatu dengan hanya mengandalkan kekuatan rasionya (sebagai salah satu ciri manusia modern), pada gilirannya menepis ke pinggir nilai-nilai luhur lokal sehingga perlahan-lahan tersingkir secara eliminatif.
Arus evolusi modernitas yang telah (sedang) menenggelamkan fungsi kapalli’ sebagai kearifan lokal masyarakat Selayar tersebut, memang perlu disegarkan kembali dan bahkan setelah ia mati sekalipun harus dihidupkan kembali dalam bentuk renaissance. Betapa tidak, hal-hal yang dalam pandangan banyak orang ini adalah irrasional rupanya memiliki dimensi fungsional terutama sebagai alat kontrol dan rekayasa sosial. Dengan kata lain bahwa pentingnya meta kognisi mengenai kapalli’ merupakan gerakan kebudayaan berdimensi historis yang perlu dilakukan.
Dalam kaitannya dengan strategi kebudayaan untuk merasionalkan hal-hal yang irrasional (sebagai penyebab orang tidak percaya kapalli’), maka sangat menarik mengutip pernyataan Ely Devons dan Max Gluckman tentang “logika hal irrasional” (David Caplan dan Robert A. Manners, 2002: 165-166). Menurutnya, bahwa banyak di antara institusi (lembaga, pranata) masyarakat primitif yang kelihatan ganjil dan irrasional di mata pengamat awam. Namun di balik irrasionalitas itu, institusi-institusi tersebut sesungguhnya rasional walaupun partisipannya sendiri tidak menginsyafi rasionalistas itu.
Maksud dari pernyataan tersebut, sesungguhnya terkait dengan kencenderungan banyak orang yang memahami hal-hal yang dianggapnya irrasional lalu membenturkannya dengan subsistem ideologi tertentu. Disinilah pentingnya apa yang disebut Evans-Pritchard sebagai “tafsir pribumi” (David Caplan dan Robert A. Manners, 2002) untuk memahami suatu produk budaya semisal kapalli’.
Dalam kaitannya dengan kecelakaan atau kejadian aneh yang menimpa seseorang, maka kapalli’ dalam konteks ini merupakan representasi teori atau penjelasan orang Selayar mengenai alasan musibah yang menimpa seseorang pada saat dan waktu tertentu. Sebagai contoh, seorang yang diajak makan tetapi memilih pergi dan dalam perjalanan ia mati tertimpa pohon yang sedang tumbang. Orang Selayar tahu persis bahwa pohon itu (bukan kapalli’) yang memecahkan kepala si orang tadi. Akan tetapi pertanyaan yang hendak dijawab oleh orang Selayar ini, yakni mengapa orang itu mesti melintas saat pohon akan tumbang?. Teori kapalli’ menjelaskan koinsiden itu dan memberikan jawabannya.
Uraian tersebut menunjukkan bahwa kapalli’ sebagai pesan kultural yang kerap dimaknai sebagai hal yang irrasional, semestinya tetap diberi tempat di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Maksudnya, bahwa penekanan intelektualitas atau kognitif dalam menafsir produk budaya ini serta sistem kerpercayaan yang ada padanya tidak bermaksud menggusurnya. Sebaliknya, harus disikapi sebagai bagian integral dari sistem sosial budaya yang berfungsi saling melengkapi dengan unsur-unsur budaya lainnya.
Pendekatan ke arah perasionalan hal-hal yang dianggap irrasional seperti halnya kapalli’, merupakan sebuah strategi kebudayaan yang handal dalam menemukenali serta melestarikan kearifan lokal. Selain itu, dengan meletakkan kacamata ideologi tertentu dan menggantinya dengan kesadaran kultural, maka aspek fungsional sekaligus alat rekayasa sosial dari kapalli’ dapat digunakan sebagai kontrol sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
Hal ini terntu saja akan berfungsi secara definitif jika ditopang oleh beberapa unsur terkait, seperti: fungsi keluarga, lembaga pendidikan, instansi terkait, dan sebagainya serta kesadaran budaya merupakan hal yang tidak kalah penting.

Simpulan dan Saran

Pustaka Acuan

Becker, Howard S. 1963. Outsiders: Studies in the Sociology of Deviance. New York: The Free Press.
Beikharz, Peter. 2003. “Social Theory: A Guide to Central Cultural Thinkers”. Terjemahan Sigit Jatmiko. Teori-Teori Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Benedict, Ruth. 1934. Pattern of Culture. Boston: Houghton Miffien and Co.
Bogardu, S. Emory. 1961. The Social Order: An Introduction to Sociology. New York: Mc Graw Hill Book Company.
Bohannan, Paul. 1963. Soscial Antropology. New York: HoltReinheinehart and Wiston.
Donald L. Hardesty. 1977. Ecological Antropology. New York: University of Nevada, Reno.
Johnson, Doyle Paul. 1986. “Sociological Theory :Cassical Founders and Contemporary Perspective” terjemahan Robert M.Z. Lawang Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia.
Fritzsimon, Stephen. 1979. Rural Community Develpmnent: A Program Policy and Research Model. Massachusets: Cambridge University.
Garna, Judistrira K. 1999. Metode-Metode Penelitian Sosial. Bandung: Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
Hamid, Abdullah. 1984. Perubahan Sosial di Kalangan Masyarakat Bugis di Linggi Kesannya ke Atas Masalah Kepemimpinan. (Disertasi P.hD). Kuala Lumpur : University of Malaya Press.
Hamid, Abu. 1972. Budaya Bugis Makassar. Makassar: Universitas Hasanuddin Press.
Hoogvelt, Ankie M.M. 1985. Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang. Jakarta: Rajawali.
Horton, Paul B. 1987. “Sociology” diterjemahkan oleh Aminuddin Ram dan Tita Subari. Sosiologi. Jakarta: Erlangga.
Iver, R.M. Mac Iver dan Charles H. Page. 1961. Society : an Introductory Analysis London: Macmillan & C. Ltd.
Koentjaraningrat. 1980. Antropologi di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kroeber ed. 1953. “Universal Categories of Culture” dalam Majalah Antropology to day. Chicago: Chicago University Press.
Moore, Wilbert. 1979. World Modernization : The Limits of Convergence. New York: Elsivier.
Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Parson, Talcot dan Edward Shills Ed. 1965. Toward A General Theory of Action. New York: Harper & Row.
Remmling, Gunter W. 1970. Basic Sociology: An Introduction to the Study of Society. New Jersey: Littlefield, Adam & CO.
Sanderson, Stephen K. 1995. Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Jakarta: Rajawali Press.
Singarimbun, Masri dan Efendy Sopyan. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta : LP3ES.
Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Soekmono. 1972. Kebudayaan di Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Soemarjan, Selo. 1972. Sosiologi Indonesia. Jakarta: Bratara.

ORANG LUWU MEMBELA INDONESIA (REFLEKSI MASAMBA AFFAIR)

Michel Rolph Troillot, sang penulis buku: Silencing the Past: Power and the Production of History (1995), pernah menggambarkan tentang adanya permainan kekuasaan dalam penciptaan narasi alternatif dalam penulisan sejarah yang berawal pada penciptaan fakta maupun sumber. Hal ini diawali dengan pembentukan pengetahuan sejarah (historical knowledge) dan narasi-narasi besar (grand narratives).

Berpijak pada realitas empiris sejauh ini, menunjukkan bahwa historiografi nasional selalu dipandang oleh pemerintah sebagai sebuah kunci yang paling penting untuk membangun kesadaran sejarah. Asumsi ini pada gilirannya mendorong penguasa memilih (menentukan) kejadian tertentu untuk kemudian dikukuhkan menjadi peristiwa bersejarah dan penulisannya pun diberi label sejarah nasional.
Generalisasi secara konseptual, personal, spasial (ruang), dan temporal (waktu) atas peristiwa tertentu dan pelabelan secara subyektif (politisir) oleh penguasa, pun tak terhindarkan. Konsekuensinya, meski tidak ada kesepakatan secara konsensus dari rakyat tentang narasi mana yang dipilih sebagai narasi kolektif, pihak penguasa tetap mengklaim suatu peristiwa sebagai hari bersejarah yang perlu dikenang bersama.
Persoalan yang masih mengendap kemudian, yakni sampai seberapa besar kesadaran tersebut terpatri dalam dada dan pikiran masyarakat. Maksudnya, meski penguasa (negara) telah membangunan pengetahuan sejarah yang sedemikian besar, namun belum tentu dapat membentuk ingatan secara seragam. Dalam kaitan dengan itulah, pengkajian peristiwa lokal sebagai bagian integral dari sejarah nasional menjadi urgen dilakukan.
Salah satu dari sederet peristiwa bersejarah di Sulawesi Selatan yang penting untuk ditemukenali kembali hari ini dan tentu juga besok serta seterusnya, yakni perlawanan rakyat Luwu. Peristiwa perlawanan terhadap tentara NICA (Netherland Indies Civil Administration) 23 Januari 1946 ini, akrab disebut Masamba Affair (peristiwa Masamba). Bahkan untuk tetap mengenang peristiwa bersejarah ini secara simbolik, maka di Masamba ibukota Kabupaten Luwu Utara dapat disaksikan sebuah patung pemuda yang tampil heroik dengan dua buah senjata di tangannya.
Pertanyaan menarik sekitar itu, yakni apakah kita (khusus orang-orang Luwu) sebagai homo significant (sang pemberi makna) masih mampu menangkap sejumlah nilai di balik keberadaan patung tersebut?. Benarkah nilai heroisme masih bertahta dalam benak kita serta mampu tertular secara transmisif kepada generasi muda di antara semakin kaburnya pengetahuan tentang sejarah?. Dari pertanyaan-pertanyaan itulah kesadaran historis akan lahir dan keinginan untuk menggali peristiwa-peristiwa lokal menjadi sebuah tanggung jawab.
Akar Peristiwa
Terjadinya peristiwa heroik ini, terkait dengan kondisi sosio-politik kala itu yakni. menjelang datangnya pasukan Sekutu. Catatan sejarah menunjukkan bahwa seluruh daerah Luwu termasuk Tana Toraja dan Kolaka telah dinyatakan sebagai wilayah RI, demikian halnya dengan pemerintahan kerajaan Luwu. Pemerintahan kerajaan Luwu menjadi daerah de facto RI yang sesungguhnya. Semua ini dapat tercapai berkat kerjasama yang erat antara pemuda dan pemerintah kerajaan.
Sampai saat ini, pemuda Luwu telah dua kali melakukan perubahan organisasi perjuangan yaitu pada 17 September 1945 Sukarno Muda dirubah menjadi Pemuda Nasional Indonesia (PNI). Kemudian 15 Oktober 1945 kembali lagi dilakukan perubahan, dan muncullah suatu organisasi yang cakupannya meliputi seluruh wilayah Kerajaan Luwu yaitu Pemuda Republik Indonesia (PRI).
Meskipun Luwu telah dinyatakan berada di belakang RI, namun suasana dalam masyarakat masih diliputi ketegangan. Kelompok masyarakat yang pro kepada Belanda (termasuk di dalamnya beberapa bangsawan Luwu), pun telah memperlihatkan gerak geriknya. Hal ini menjadi bumerang bagi kelompok masyarakat pendukung suasana mobilisasi umum, dimana yang ada hanya kawan dan lawan, dan sering kali terjadi pembunuhan akibat tindakan kedua kelompok tersebut.
Keadaan seperti itu makin bertambah gawat, akibat dibiarkannnya pasukan Belanda berkeliaran dalam masyarakat melakukan tindakan-tindakan yang oleh rakyat Luwu dianggap menghina harga diri (siri) mereka. Dengan demikian, atas nama pemerintah kerajaan, pemuda Luwu, dan pemuka agama mengeluarkan ultimatum kepada pasukan Sekutu. Karena sampai pada batas waktu yang ditentukan ultimatum itu tidak diindahkan, maka terjadilah peristiwa 23 Januari 1946 yang didukung oleh seluruh lapisan masyarakat.
Spirit Perjuangan
Tindakan-tindakan Belanda bersama para kaki tangannya di daerah kerajaan yang merdeka/berdaulat merupakan suatu penghinaan bagi Datu selaku pemimpin dan rakyat Luwu pada umumnya. Karena itu, pemuda selaku pelopor kemerdekaan dengan dibebani siri dalam dirinya terdorong untuk mempersiapkan serangan atau tindakan balasan kepada Belanda. Demikian halnya Datu Luwu, Andi Jemma yang dari awal telah dikecewakan oleh Belanda saat pemilihan Datu Luwu pada tahun 1935, merasa telah mengalami apa yang disebut sebagai masiri dan kebencian yang terpendam.
Menurut Rasyid Ridha (2009) ada beberapa faktor penyebab sekaligus spirit perjuangan orang Luwu yang intinya terkait dengan prinsip bahwa Narekko Naposiri’I Datue, Napomatei Pabbanue (Bugis: “rakyat siap mempertaruhkan nyawanya demi membela dan menegakkan siri’ atau harga diri Datu/Pemerintah”), merupakan kata kunci yang bisa menerangkan hakekat dari peristiwa 23 Januari 1946.
Kenyataan seperti ini tampak pada kasus penghinaan tentara NICA terhadap Opu Gawe (tante Datu) di Bua dan dengan menginjak-nginjak Al-Quran serta tidak diindahkannya ultimatum yang ditandatangani Andi Jemma selaku kepala pemerintah RI kerajaan Luwu, K.H.M. Ramli, Khadi atas nama Umat Islam Luwu dan M. Yusuf Arief selaku kelompok pemuda. Faktor lainnya menurut Rasyid Ridha (2009) terkait dengan persoalan kharisma pemimpin, ideologi, dan ketegangan, sebagaimana diuraikan berikut ini.
Pertama, kepemimpinan Andi Jemma yang kharimatis dan merupakan simbol revolusi bagi rakyat Luwu menjadi lebih efektif, karena mendapat pengukuhan dari khadi sebagai tokoh rohani Umat Islam. Selain itu, juga mendapat dukungan penuh dari tenaga-tenaga organisator yang ulet dan tangguh dari kaum pergerakan, baik dari kaum pergerakan intelektual maupun dari pergerakan agama (PSII dan Muhammadiah) serta dukungan kaum bangsawan dan seluruh lapisan masyarakat.
Kedua, faktor idiologi (the spread of generalized belief) sangat berpengaruh dalam suatu pemberontakan, di samping faktor ketegangan yang timbul dalam masyarakat (structural strain). Dengan demikian, teori Smelser tepat sekali dalam menjelaskan peristiwa ini. Di samping itu, siri sebagai nilai budaya Bugis Makassar perlu didekati sebagai alat pendekatan dalam mengungkap pemberontakan. Dapat pula dikatakan bahwa, peristiwa tersebut merupakan sebuah momentum sejarah sekaligus tanda zaman. Ia menjadi peristiwa yang membuktikan secara struktural, heterogenitas masyarakat dapat dipersatukan yang jelas serta murni Indonesia merdeka.
Ketiga, secara fungsional, gerakan ini bersifat sadar, memiliki komitmen yang kuat pada tujuan yang jelas. Ia bukanlah gerakan sporadis dari situasi vacum of power dan bukan pula gerakan spontan, melainkan telah melalui proses panjang dan matang. Jadi bukan gerakan trial and error, dengan semangat sesaat. Artinya perjuangan ini ditandai idiologi, tujuan dan memiliki pemimpin yang jelas.
Keempat, peristiwa 23 Januari 1946 memperlihatkan secara struktur, yaitu organisasi Sukarno Muda sebagai wadah pemrakarsa, menunjukan pandangan nasionalisme dan tidak ada saling menyesalkan. Kepemimpinannya terdiri dari tiga golongan yang terintegrasi sebagaimana hakekat zaman. yaitu aristokrat, agama (Muhammadiyah, PSII) dan unsur pemuda pergerakan. Jalinan harmoni ketiga golongan ini diwujudkan juga dalam penandatanganan ultimatum oleh Datu, Kadhi dan wakil Pemuda.
Hal tersebut memperlihatkan suatu kematangan, karena struktur itu menegaskan adanya pertimbangan internal dynamic. Datu mewakili kharisma kerajaan, Khadi adalah representasi hukum dan ajaran agama Islam, dan pemuda sebagai dinamisator. Disamping itu, kerjasama antara golongan aristokrat (raja dan bangsawan) dengan golongan reformasi (PSII Muhammadiyah) ini khas berbeda dengan dinamika revolusi tingkat lokal lainnya. Bukan gerakan golongan, melainkan perjuangan seluruh rakyat Luwu, dari petani, nelayan, guru, sampai raja sendiri.
Singkatnya, bahwa gerakan perlawanan 23 Januari 1946 yang dimotori oleh pemuda bersama rakyat Luwu dengan mendapat dukungan dari Datu selaku pemimpin kerajaan yang kharismatik ini, dilatarbelakangi oleh upaya penegakkan hak sebagai pengejawantahan dari nilai budaya Siri dan dilandasi oleh Maseddi Siri dari rakyat Luwu.
Akhirul kalam, semoga ideologi sebagai spirit perjuangan rakyat Luwu tersebut masih mampu menjadi pengawal cita-cita hidup berbangsa dan bernegara di era modern bahkan di tengah krisis ideologi yang mendera generasi muda.

Pernah dimuat pada Harian Fajar, 23 Januari 2010

DARI TORAJA MENATAP MESIR KUNO

Tana Toraja yang akrab disapa “Tator” sebagai salah satu kabupaten di Sulsel, memiliki aneka simbol dan produk budaya yang sangat menarik diteliti. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh Koes Hadinoto pada tahun 1989, susunan obyek wisata Tana Toraja terdiri atas: panorama alam, kebudayaan dan pola kehidupan masyarakat, peninggalan sejarah dan kepurbakalaan, upacara ritual rambu tuka’ dan rambu solo, seni tari dan kesenian, seni lukis, industri rumah dan kerajinan tangan.
Panorama alam nan indah sebagai ciri khas Tana Seribu Tongkonan ini, terdiri atas bukit-bukit batu menjulang tinggi, lembah-lembah yang hijau serta hamparan sawah yang berpetak-petak, sungguh merupakan anugerah sang pencipta yang patut disyukuri. Bahkan perpaduan harmonis antara alam yang indah dengan udara sejuk dan bersih ditandai oleh munculnya kabut di pagi hari tersebut merupakan unsur pendukung sejumlah daya pikat yang dimilikinya.
Berdasarkan catatan sejarah, Tana Toraja dahulu bernama Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo. Secara harafiah terminologi ini menggambarkan sebuah negeri yang bulat sebagai simbol kesatuan, bulat bagaikan bulan dan matahari. Secara filosofis diartikan sebagai sebuah negeri dimana bentuk pemerintahan serta masyarakatnya merupakan suatu kesatuan bulat, utuh dan tak terpisahkan. Ideologi pemersatu dan alat perekat sosio-kultural mereka, yakni keyakinan pada Aluk Todolo. Warisan leluhur ini memuat nilai-nilai atau aturan yang bersumber dari negeri Marinding Banua Puang yang dikenal dengan Aluk Pitung Sa’ bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau Aluk Sanda Pitunna (aturan/agama 7777).
Para ahli sejarah dan ahli budaya telah menyatakan bahwa penduduk yang pertama-tama menguasai Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo pada zaman purba adalah penduduk yang berasal dari luar Sulawesi Selatan yang diperkirakan datang pada sekitar abad ke-6. Mereka datang dengan perahu/sampan melalui sungai- sungai yang besar, dan menuju ke pegunungan Sulawesi Selatan akhirnya menempati daerah pegunungan termasuk Tana Toraja. Kedatangan mereka secara berkelompok yang dalam sejarah Toraja dinamai Arroan (kelompok manusia ) dan menyusuri sungai-sungai dengan mempergunakan perahu. Segera setelah itu, mereka itu tak dapat lagi melanjutkan pelayaran karena air sungai deras dan berbatu-batu. Karena itu, mereka lalu menambat perahu-perahunya di pinggir-pinggir sungai dan tebing-tebing gunung yang dilalui oleh sungai. Kondisi pemukiman awal yang menggunakan perahu seperti inilah mungkin yang menjadi alasan mengapa dalam sejarah Toraja dan dongeng Toraja sangat terkenal suatu istilah yakni Banua di Toke’ (Banua = rumah di Toke’ = digantung).
Nama Toraja mulai dikenal setelah adanya hubungan Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo dengan daerah luar seperti Bugis Makassar. Kata Toraja berasal dari kata To yang berarti orang dan Riaja yang bermakna di atas atau orang yang berdiam di atas pegunungan sebelah utara daerah Sidenreng. Konon nama ini, diberikan oleh orang Bugis Luwu dan daratan Bugis lainnya. Dengan demikian, penggunaan istilah Toraja untuk pertama kali secara resmi dipakai untuk menyebut nama wilayah administratif pemerintahan Zelfbestuur Tana Toraja pada masa pemerintahan Negara Indonesia Timur (NIT) pada tahun 1947. Pada tahun 1959, wilayah ini menjadi daerah Kabupaten Tana Toraja di bawah pangkuan Negara Republik Indonesia.
Sejarah Tana Toraja berikut sejumlah warisan kultural yang dimiliki tersebut, tentu saja akan memikat setiap orang yang berkunjung. Bahkan akan merasa takjub seperti halnya sejarawan kondang sekaliber Herodotus yang menyatakan kekagumannya pada warisan kebudayaan Mesir kuno abad ke-5 SM. Keanehan Mesir berdasarkan hasil penelitian beliau setelah melakukan perjalanan wisata berkeliling negeri ini, pada masa berikutnya sempat dibuktikan oleh para peneliti. Bahkan mereka yang sempat melakukan perjalanan ilmiahnya di negeri Mesir, menurut catatan Lionel Casson dalam buah penanya “Ancient Egypt” merasa kerdil di hadapan patung-patung yang menjulang tinggi.
Keistimewaan dan daya tarik Tana Toraja terutama aneka warisan budayanya, tidaklah (mungkin belum) sebesar Mesir Kuno yang telah mempunyai reputasi internasional serta menjadi obyek penelitian masyarakat ilmiah dunia. Akan tetapi walaupun mereka yang mengunjungi secara fisik tidaklah merasa kerdil seperti halnya kaum ilmiawan melihat patung raksasa di Mesir, dapat dipastikan bahwa mereka yang mengunjungi Toraja secara ilmiah akan merasa kerdil pula. Maksudnya, ketika menelusuri aspek sosio-kultural masyarakat setempat sebagai patron budaya kekaguman itu akan muncul terutama pada ekspresi budaya yang dimanifestasikan melalui seni dan upacara suci.
Dalam tradisi dan budaya masyarakat Toraja sejak dahulu hingga kini, dikenal upacara Rambu Solo atau upacara pemakaman yang dilakukan pada saat matahari condong ke Barat. Modus pelaksanaannya berupa pengorbanan hewan yakni kerbau atau babi dilakukan di sebelah Barat dari rumah upacara. Pada umumnya upacara suci ini, diselenggarakan pasca panen terutama pada bulan Juni hingga bulan Oktober setiap tahun. Makna yang terkandung dalam upacara ritual ini yakni dimaksudkan agar jiwa (arwah) dari para mendiang dapat diterima dengan baik di sisi Tuhan.
Selain upacara ritual pemakaman (rambu solo), di kalangan masyarakat Toraja pun memiliki tradisi unik dalam mengurus jenazah yang membedakannya dengan daerah lain. Bukti konkret mengenai hal tersebut, tercermin melalui kuburan sisi batu karang terjal Londa yang terletak sekitar 310 km dari Makassar dan 30 km dari kota Makale. Untuk mengunjungi tempat ini, setiap orang harus menggunakan alat penerangan (lampu) atau lentera karena letak kuburan itu di dalam gua yang gelap. Gua-gua yang terbentuk secara alami selama berabad-abad lamanya mempunyai ruang yang lebar dan luas sehingga memungkinkan untuk menyimpan peti mayat di dalamnya.
Pemandangan unik lainnya yakni peletakan peti mayat pada gua itu yang diatur sedemikian rupa berdasarkan garis keluarga. Kuburan batu karang Londa yang terletak sekitar 5 km dari kota Rantepao tepatnya di desa Tikuna Malenong Kecamatan Sangalangi, secara ilmiah merupakan obyek penelitian yang sangat menarik terutama bagi mereka yang mendalami disiplin ilmu sejarah.
Satu hal yang tidak kalah menarik yakni pada makam kuno di Toraja terdapat patung-patung, yang tentu tujuannya sebagai alat untuk mengenang wajah seseorang yang dianggap mempunyai andil yang cukup penting dalam masyarakat. Karena itu, wajar jika pembuatan patung-patung dikhususkan pada para keluarga bangsawan Toraja.
Hal ini mirip dengan tradisi orang Mesir Kuno yang berdasarkan sejarahnya, mengenal ajaran tentang hidup abadi terutama bagi Fir’aun sesuai ajaran naskah keagamaan kuno. Sebagai pencerminan hidup abadi yakni mereka bersedia bekerja keras membuat pusara dan kuil besar yang terawetkan sejak 2000 tahun lalu. Nama raja atau penguasa yang dituliskan tersebut itulah yang dianggap sebagai keabadian, dimana orang akan selalu mengenangnya sepanjang masa.
Meskipun demikian, pertanyaan historis dan kegelisahan kultural yang muncul yakni akankah warisan budaya semolek ”wajah” Tana Toraja ini akan tetap ”kekal” sebagaimana wujud pengabadian wajah sejumlah figur melalui patung-patung itu?. Masih sanggupkah lafadz dzikir-dzikir sejarah yang berkumandang di antara setumpuk godaan ”syaitan globalisasi” melawan ketidakpedulian orang pada dimensi masa lampau?. Di sinilah andil dan peran kita sebagai pemilik warisan budaya diperlukan untuk senantiasa merawatnya lewat kesadaran sejarah dan taubat budaya.

Pernah dimuat pada Majalah SUREQ, 2009

* * *

Dokumen Negara Itu Pun Menjadi Dongeng (Refleksi 43 Tahun Misteri Supersemar)

Ketika Edward Hallet Carr hendak membentang ide dan gagasan-gagasannya tentang sejarah, maka ia pun menggunakan istilah “What is History?” untuk memberi judul atas bukunya. Konsep mengenai sejarah sebagai suatu dialog yang tak berkesudahan antara sejarawan dengan masa lalunya dan sejarawan dengan sumber-sumbernya, inilah yang banyak memberi inspirasi bagi para penulis sejarah belakangan.
Pentingnya sederet pertanyaan untuk mengawali uraian ataupun analisis tentang suatu persitiwa masa lalu itulah, yang menginspirasi bahkan melegitimasi lahirnya pertanyaan historis bernada ‘Apakah Supersemar Itu?’. Pertanyaan ini urgen mengingat bahwa dokumen negara maha penting ini, sekarang tak ubahnya hanya sebuah dongeng dengan sejumlah teka-teki mengenai eksistensinya.
Pertanyaan penting lainnya terkait dengan itu, yakni mengapa dokumen yang menjadi landasan kelahiran Orde Baru itu bisa hilang?. Bukankah keabsahan mengenai pemerintahan di bawah komando Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun terletak di situ?. Kekaburan sejarah dan masih belum terjawabnya sejumlah teka-teki mengenai Supersemar terutama menyangkutnya isinya, bukan tidak mungkin antara lain menjadi penyebab sehingga pelajaran sejarah kurang diminati.
Misteri Supersemar
Upaya pencarian dan penelusuran mengenai keberadaan Supersemar yang asli, sesungguhnya telah seringkali dilakukan. Sebut saja pada Minggu kedua bulan Oktober 1993 yang lalu, Majalah Forum Keadilan pernah memuat tentang pengakuan Amirmachmud dalam sebuah wawancara mengenai pemegang naskah asli Supersemar. Menurut salah seorang tokoh yang terlibat langsung dalam proses kelahiran Supersemar ini, bahwa bersama kedua tokoh lainnya yakni Pak Basoeki Rachmat dan Pak Jusuf, mereka menyerahkan naskah itu kepada Soeharto di Kostrad.
Meskipun demikian, demi keperluan proses pembubaran PKI, maka Soeharto menyerahkan kepada stafnya yakni Soedharmono dan yang lainnya. Pasca perumusan pembubaran PKI, maka keberadaan teks asli supersemar tersebut tidak diketahui lagi. Artinya bahwa baik Soeharto maupun Soedharmono mengaku tidak mengetahui dan menyimpannya. Bahkan Amirmachmud, Basoeki Rachmat dan Pak Jusuf, merasa tidak bertanggung jawab lagi atas dokumen tersebut setelah penyerahan mereka lakukan.
Selain misteri hilangnya Supersemar, isinya pun kemudian menjadi pertanyaan historis yang menarik untuk ditelusuri kebenarannya. Secara sederhana ada pandangan bahwa isi Supersemar itu adalah perintah yang diperuntukkan kepada Soeharto untuk mengamankan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, menjaga stabilitas nasional dan menjaga keamanan Bung Karno.
Kekuatan dari isi surat inilah yang kemudian dipergunakan untuk membubarkan PKI, meski belakangan membuat Soekarno sempat marah dengan dalil bahwa di dalam surat itu tidak tercantum kata pembubaran PKI. Akan tetapi, konon Soekarno memaklumi ketika argumen mengatakan bahwa kalimat mengamankan Pancasila itu identik dengan membubarkan PKI yang notabene hendak menghancurkan Pancasila.
Persoalan menarik lainnya sekitar Supersemar, yakni mengapa terdapat tiga macam dokumen dengan isi yang berbeda. Maksudnya, bahwa ada dua supersemar yang dinyatakan bukan asli dan sebaliknya yang asli hanya satu. Hal ini kemudian mengundang pertanyaan apakah Soekarno telah menandatangani dokumen sebanyak tiga kali juga?. Jika hal ini benar, maka untuk apa dan dalam kondisi bagaimana ia melakukan tindakan seperti ini?. Teka-teki inilah yang masih belum terjawab, sehingga keberadaan Supersemar hingga kini tampak masih merupakan misteri sejarah.
Tugas Berat Sejarawan
Terkait dengan tugas sejarawan, sangat menarik mengutip pandangan Presiden Uni Soviet ketiga Nikita Khruschev (1953-1964) sebagaimana diungkap dalam buku L’histoire Saus Surveillance (1985: 30) karya Marc Ferro. Menurutnya, satu-satunya kelompok yang bisa mempertanyakan legitimasi penguasa adalah sejarawan. Dengan dokumen primer yang dimilikinya, sejarawan dapat mengungkap dan merekonstruksi peristiwa sosial politik masa lalu, tanpa bisa dibantah oleh rezim pemerintahan yang berkuasa.
Kuasa sejarawan dalam menghadirkan kembali wajah masa lalu seperti ini, pun telah dikemukakan oleh E.H. Carr bahwa “fakta-fakta berbicara hanya ketika sang sejarawan mempersilahkan mereka berbicara. Dialah yang memutuskan fakta mana yang diberi kesempatan buat bicara”. Meskipun demikian, juga tidak dapat dipungkiri bahwa acapkali sejarah oleh segelintir sejarawan digunakan untuk mengukuhkan kepentingan rezim tertentu. Baik disadari ataupun tidak, sejarah memiliki arti penting dan strategis dalam kehidupan umat manusia di masa lalu, sekarang, dan masa mendatang.
Mengacu pada beberapa pemikiran tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sejarah adalah bidang kajian yang memahami manusia dan tindakannya yang selalu berubah dalam ruang dan waktu sejarahnya. Karena itu, tafsir tentang sejarah tidak akan pernah menghasilkan kata akhir. Selama masih ada ruang dialog dan sumber-sumber sejarah, maka sejarah dalam arti kisahnya akan selalu diperbincangkan.
Dalam hubungannya dengan misteri sekitar keberadaan dan isi Supersemar, tugas seorang Sejarawan memang terbilang berat. Betapa tidak, sejarah hanya dapat ditulis dengan mengandalkan data atau dokumen dengan sumber yang valid. Artinya bahwa ia tidak dapat diformulasikan dengan hanya mengandalkan proposisi atau teori setangguh apapun. Bahkan tidak jarang upaya pengungkapan fakta sejarah, harus berhadapan dengan pertimbangan-pertimbangan manfaat dan mudaratnya.
Sejarah Menjadi Dongeng
“Ketika sejarah telah semakin dominan, berarti pemikiran rasional dan sikap kritis telah semakin berhasil mengatasi pemikiran mitologis. Kalau hal ini telah terjadi, maka selanjutnya yang dipermasalahkan adalah perspektif kesejarahan. Dari sudut perspektif apakah atau siapakah masa lalu harus dipelajari?. Masa lalu itu sebenarnya pasif meskipun tampak selalu menggoda untuk diketahui. Tetapi apakah yang ingin diketahui itu?. Kalau ini yang ditanyakan, maka kita pun juga terpaksa mengatakan bahwa awal dari pengerjaan sejarah itu bersifat subyektif. Masa lalu baru bisa berbicara (ataukah dikunjungi), setelah pertanyaan diajukan”.
Demikian ungkap Sejarawan terkemuka Taufik Abdullah. Dalam kaitan ini, sejarah bukan semata sebuah dialog mengenai masa lalu, tetapi referensi dalam menata masa depan bangsa. Kiranya disinilah letak persoalannya, yakni perspektif apakah atau siapakah serta untuk apa hal ikhwal mengenai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dipelajari?.
Menjawab pertanyaan ini, maka ada hal menarik untuk dicermati bersama yakni hilangnya atau mungkin sengaja dihilangkannya dokumen Supersemar. Jika ternyata benar ada tindakan menghilangkan dengan sengaja atau menyembunyikan dengan sengaja pula, berarti ada persoalan sekitar bunyi perintah pada surat dengan kenyataan yang ada. Selain itu, jika ternyata kegagalan menelusuri data sejarah sekitar Supersemar adalah disebabkan karena keengganan para tokoh kunci untuk mengungkap misteri di balik dokumen maha penting ini maka mungkin ada pertimbangan strategis tertentu.
Akhirnya, masih bersemayamnya Supersemar di alam mitos dengan sejumlah nilai-nilai sakral yang menghalangi upaya pengungkapannya, kemudian menjadi sejarah tersendiri bagi bangsa Indonesia. Bahkan tidak (belum) tersedianya data yang memadai serta ”belum siapnya” kita untuk menjawab teka-teki sejarah ini, sama artinya mendukung Supersemar sebagai dokumen sejarah tetap menjadi sebuah cerita dongeng (Pernah dimuat pada Harian Fajar, 11 Maret 2009).