Rabu, 17 Februari 2010

Dokumen Negara Itu Pun Menjadi Dongeng (Refleksi 43 Tahun Misteri Supersemar)

Ketika Edward Hallet Carr hendak membentang ide dan gagasan-gagasannya tentang sejarah, maka ia pun menggunakan istilah “What is History?” untuk memberi judul atas bukunya. Konsep mengenai sejarah sebagai suatu dialog yang tak berkesudahan antara sejarawan dengan masa lalunya dan sejarawan dengan sumber-sumbernya, inilah yang banyak memberi inspirasi bagi para penulis sejarah belakangan.
Pentingnya sederet pertanyaan untuk mengawali uraian ataupun analisis tentang suatu persitiwa masa lalu itulah, yang menginspirasi bahkan melegitimasi lahirnya pertanyaan historis bernada ‘Apakah Supersemar Itu?’. Pertanyaan ini urgen mengingat bahwa dokumen negara maha penting ini, sekarang tak ubahnya hanya sebuah dongeng dengan sejumlah teka-teki mengenai eksistensinya.
Pertanyaan penting lainnya terkait dengan itu, yakni mengapa dokumen yang menjadi landasan kelahiran Orde Baru itu bisa hilang?. Bukankah keabsahan mengenai pemerintahan di bawah komando Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun terletak di situ?. Kekaburan sejarah dan masih belum terjawabnya sejumlah teka-teki mengenai Supersemar terutama menyangkutnya isinya, bukan tidak mungkin antara lain menjadi penyebab sehingga pelajaran sejarah kurang diminati.
Misteri Supersemar
Upaya pencarian dan penelusuran mengenai keberadaan Supersemar yang asli, sesungguhnya telah seringkali dilakukan. Sebut saja pada Minggu kedua bulan Oktober 1993 yang lalu, Majalah Forum Keadilan pernah memuat tentang pengakuan Amirmachmud dalam sebuah wawancara mengenai pemegang naskah asli Supersemar. Menurut salah seorang tokoh yang terlibat langsung dalam proses kelahiran Supersemar ini, bahwa bersama kedua tokoh lainnya yakni Pak Basoeki Rachmat dan Pak Jusuf, mereka menyerahkan naskah itu kepada Soeharto di Kostrad.
Meskipun demikian, demi keperluan proses pembubaran PKI, maka Soeharto menyerahkan kepada stafnya yakni Soedharmono dan yang lainnya. Pasca perumusan pembubaran PKI, maka keberadaan teks asli supersemar tersebut tidak diketahui lagi. Artinya bahwa baik Soeharto maupun Soedharmono mengaku tidak mengetahui dan menyimpannya. Bahkan Amirmachmud, Basoeki Rachmat dan Pak Jusuf, merasa tidak bertanggung jawab lagi atas dokumen tersebut setelah penyerahan mereka lakukan.
Selain misteri hilangnya Supersemar, isinya pun kemudian menjadi pertanyaan historis yang menarik untuk ditelusuri kebenarannya. Secara sederhana ada pandangan bahwa isi Supersemar itu adalah perintah yang diperuntukkan kepada Soeharto untuk mengamankan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, menjaga stabilitas nasional dan menjaga keamanan Bung Karno.
Kekuatan dari isi surat inilah yang kemudian dipergunakan untuk membubarkan PKI, meski belakangan membuat Soekarno sempat marah dengan dalil bahwa di dalam surat itu tidak tercantum kata pembubaran PKI. Akan tetapi, konon Soekarno memaklumi ketika argumen mengatakan bahwa kalimat mengamankan Pancasila itu identik dengan membubarkan PKI yang notabene hendak menghancurkan Pancasila.
Persoalan menarik lainnya sekitar Supersemar, yakni mengapa terdapat tiga macam dokumen dengan isi yang berbeda. Maksudnya, bahwa ada dua supersemar yang dinyatakan bukan asli dan sebaliknya yang asli hanya satu. Hal ini kemudian mengundang pertanyaan apakah Soekarno telah menandatangani dokumen sebanyak tiga kali juga?. Jika hal ini benar, maka untuk apa dan dalam kondisi bagaimana ia melakukan tindakan seperti ini?. Teka-teki inilah yang masih belum terjawab, sehingga keberadaan Supersemar hingga kini tampak masih merupakan misteri sejarah.
Tugas Berat Sejarawan
Terkait dengan tugas sejarawan, sangat menarik mengutip pandangan Presiden Uni Soviet ketiga Nikita Khruschev (1953-1964) sebagaimana diungkap dalam buku L’histoire Saus Surveillance (1985: 30) karya Marc Ferro. Menurutnya, satu-satunya kelompok yang bisa mempertanyakan legitimasi penguasa adalah sejarawan. Dengan dokumen primer yang dimilikinya, sejarawan dapat mengungkap dan merekonstruksi peristiwa sosial politik masa lalu, tanpa bisa dibantah oleh rezim pemerintahan yang berkuasa.
Kuasa sejarawan dalam menghadirkan kembali wajah masa lalu seperti ini, pun telah dikemukakan oleh E.H. Carr bahwa “fakta-fakta berbicara hanya ketika sang sejarawan mempersilahkan mereka berbicara. Dialah yang memutuskan fakta mana yang diberi kesempatan buat bicara”. Meskipun demikian, juga tidak dapat dipungkiri bahwa acapkali sejarah oleh segelintir sejarawan digunakan untuk mengukuhkan kepentingan rezim tertentu. Baik disadari ataupun tidak, sejarah memiliki arti penting dan strategis dalam kehidupan umat manusia di masa lalu, sekarang, dan masa mendatang.
Mengacu pada beberapa pemikiran tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sejarah adalah bidang kajian yang memahami manusia dan tindakannya yang selalu berubah dalam ruang dan waktu sejarahnya. Karena itu, tafsir tentang sejarah tidak akan pernah menghasilkan kata akhir. Selama masih ada ruang dialog dan sumber-sumber sejarah, maka sejarah dalam arti kisahnya akan selalu diperbincangkan.
Dalam hubungannya dengan misteri sekitar keberadaan dan isi Supersemar, tugas seorang Sejarawan memang terbilang berat. Betapa tidak, sejarah hanya dapat ditulis dengan mengandalkan data atau dokumen dengan sumber yang valid. Artinya bahwa ia tidak dapat diformulasikan dengan hanya mengandalkan proposisi atau teori setangguh apapun. Bahkan tidak jarang upaya pengungkapan fakta sejarah, harus berhadapan dengan pertimbangan-pertimbangan manfaat dan mudaratnya.
Sejarah Menjadi Dongeng
“Ketika sejarah telah semakin dominan, berarti pemikiran rasional dan sikap kritis telah semakin berhasil mengatasi pemikiran mitologis. Kalau hal ini telah terjadi, maka selanjutnya yang dipermasalahkan adalah perspektif kesejarahan. Dari sudut perspektif apakah atau siapakah masa lalu harus dipelajari?. Masa lalu itu sebenarnya pasif meskipun tampak selalu menggoda untuk diketahui. Tetapi apakah yang ingin diketahui itu?. Kalau ini yang ditanyakan, maka kita pun juga terpaksa mengatakan bahwa awal dari pengerjaan sejarah itu bersifat subyektif. Masa lalu baru bisa berbicara (ataukah dikunjungi), setelah pertanyaan diajukan”.
Demikian ungkap Sejarawan terkemuka Taufik Abdullah. Dalam kaitan ini, sejarah bukan semata sebuah dialog mengenai masa lalu, tetapi referensi dalam menata masa depan bangsa. Kiranya disinilah letak persoalannya, yakni perspektif apakah atau siapakah serta untuk apa hal ikhwal mengenai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dipelajari?.
Menjawab pertanyaan ini, maka ada hal menarik untuk dicermati bersama yakni hilangnya atau mungkin sengaja dihilangkannya dokumen Supersemar. Jika ternyata benar ada tindakan menghilangkan dengan sengaja atau menyembunyikan dengan sengaja pula, berarti ada persoalan sekitar bunyi perintah pada surat dengan kenyataan yang ada. Selain itu, jika ternyata kegagalan menelusuri data sejarah sekitar Supersemar adalah disebabkan karena keengganan para tokoh kunci untuk mengungkap misteri di balik dokumen maha penting ini maka mungkin ada pertimbangan strategis tertentu.
Akhirnya, masih bersemayamnya Supersemar di alam mitos dengan sejumlah nilai-nilai sakral yang menghalangi upaya pengungkapannya, kemudian menjadi sejarah tersendiri bagi bangsa Indonesia. Bahkan tidak (belum) tersedianya data yang memadai serta ”belum siapnya” kita untuk menjawab teka-teki sejarah ini, sama artinya mendukung Supersemar sebagai dokumen sejarah tetap menjadi sebuah cerita dongeng (Pernah dimuat pada Harian Fajar, 11 Maret 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar