Rabu, 17 Februari 2010

Westerling Sudah di Maafkan (Refleksi Peringatan Tragedi Korban 40.000 Jiwa)

Tanggal 11 Desember pada masa kekuasaan rezim orde baru, selalu diperingati sebagai hari berkabung bagi rakyat Sulawesi Selatan. Betapa tidak, hari itu merupakan awal dari peristiwa teror tentara Belanda yang berintikan Pasukan Khusus atau Corps Speciale Troepen (jumlah anggota 123 orang), pimpinan Kapten KNIL Raymond Paul Pierre Westerling. Tragedi memilukan ini, berlangsung selama kurang lebih lima bulan yakni hingga ditariknya kembali pasukan Westerling dari Sulawesi Selatan pada tanggal 22 Mei 1947.
Berdasarkan catatan sejarah menunjukkan bahwa aksi kekejaman ini berlangsung, pasca Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van Mook memaklumkan keadaan darurat perang pada sebagian besar daerah Sulawesi Selatan. Sederet daerah yang dimaksudkan antara lain: Kotapraja Makassar, Afdeling Makassar, Bonthain (Bantaeng), Pare-Pare dan Mandar.
Serentak dengan itu, prakondisi yang menjadi motif terjadinya aksi teror ini juga terkait dengan perintah Panglima KNIL di Jakarta Jenderal S. Spoor, Komandan KNIL di Sulawesi Selatan, Kolonel H.J. de Vries yang mengeluarkan surat perintah harian pada tanggal 11 Desember 1946 kepada seluruh jajaran tentara Belanda di bawah komandonya. Isi perintah itu yakni operasi pasifikasi atau pengamanan berdasarkan keadaan darurat perang dengan tindakan tegas, cepat, dan keras tanpa kenal ampun dengan melaksanakan standrecht atau tembak di tempat tanpa proses.
Dalam rangkaian proses pembantaian secara sadis ini, diprediksi menelan korban sekitar 40.000 orang (rakyat) Sulawesi Selatan. Dengan demikian, kejadian ini kemudian pepoler dengan sebutan Peristiwa Korban 40.000 jiwa. Bahkan untuk mengenang peristiwa bersejarah ini, maka pada sebuah lokasi di sudut kota Daeng (Makassar) dapat disaksikan sebuah bangunan berupa monumen sekaligus peristiwa ini diabadikan dalam penamaan sebuah jalan di kota ini.
Meskipun demikian, pasca orde baru yang kemudian diberi label orde reformasi, tampak gaung, gema, dan ”sakralitas” peristiwa bersejarah ini nyaris hilang. Dapat diprediksi bahwa pembiaran atas berlalunya peristiwa ini begitu saja tanpa peringatan, suatu saat akan hilang dari memory kolektif masyarakat Sulsel. Lalu dari manakah akar penyebab memudarnya keingintahuan dan kesadaran historis orang terhadap peristiwa maha penting ini harus digali?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka tentu menarik dihubungkan dengan persoalan lahirnya multitafsir terhadap peristiwa ini. Akhirnya, ketidakjelasan dan samar-samarnya kepastian tentang kejadian sebenarnya pada gilirannya mengurangi daya pikat untuk mengungkapkannya. Bahkan persoalan yang tidak kalah menarik, yakni peringatan peristiwa ini oleh banyak kalangan dianggap sama artinya menceritakan aib dan siri’ kita.
Korban 40.000 Jiwa dalam Multitafsir
Peristiwa sadis sebagai buah dari aksi pasifikasi di Sulawesi Selatan yang oleh Westerling disebutnya ”Doden Mars” (perjalanan ke neraka) ini, rupanya telah ditafsirkan beragam berdasarkan sudut pandang masing-masing. Sebut saja ada di antara mereka yang memandang peristiwa itu sebagai klimaks dari proses perjuangan rakyat Sulawesi Selatan untuk menegakkan kemerdekaan.
Mereka yang berpandangan seperti ini, tentu berangkat dari asumsi bahwa peristiwa yang menelan ribuan korban jiwa ini merupakan pertanda (bukti) betapa orang-orang Sulsel rela berkorban untuk tanah tumpah darah mereka. Dengan kata lain bahwa tragedi ini dianggap sebagai bagian penting dari semangat patriotisme dan nasionalisme orang-orang Sulsel.
Buntut dari pandangan seperti itu, akan membawa seseorang pada dukungan tentang pentingnya memperingati peristiwa ini. Maksudnya, pengorbanan yang telah diberikan oleh para pendahulu tersebut perlu dihidupkan melalui kesadaran historis dalam wujud pengorbanan baru untuk membangun bangsa ini.
Pandangan lainnya menganggap bahwa Hari Korban 40.000 Jiwa di Sulawesi Selatan, sesungguhnya tidak perlu terlalu dibesar-besarkan apalagi memperingatinya. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa peristiwa 11 Desember 1946 itu merupakan bagian dari harga diri orang-orang Sulsel. Betapa tidak, peristiwa pembantaian ini dilakukan Belanda tanpa perlawanan dan seolah rakyat sang pemilik nilai normatif bernama siri’ ini berada dalam ketidakberdayaan.
Selain itu, muncul pula keraguan akan persitiwa ini terkait dengan jumlah korban yang seolah telah dipolitisir secara kuantitatif dan terlalu dibesar-besarkan secara kualitatif. Betapa tidak, jika merujuk pada angka korban jiwa yang menunjuk 40.000 orang, berarti dalam masa satu bulan Westerling membunuh 10.000 jiwa atau setiap hari 330 jiwa melayang. Di sinilah yang dianggap oleh banyak orang kurang bahkan tidak rasional, jika dihubungkan dengan karakter orang-orang Sulsel yang terkenal pemberani.
Meskipun demikian, bagaimana dengan anggapan bahwa korban yang jatuh selama peristiwa pembantaian ini berkisar 30.000-an dan malah ada yang menyebut jumlah 60.000 jiwa?. Malahan angka 40.000 dianggap sebagai angka pertengahan yang kemudian dijadikan angka politis psikologis sebagaimana diungkap oleh Sarita Pawiloy, sang penulis buku Arus Revolusi 45 di Sulawesi Selatan (1987).
Masih Perlukah Diperingati?
Lahirnya multitafsir dengan ragam persepsi terhadap peristiwa korban 40.000 jiwa tersebut, kemudian melahirkan pertanyaan baru yakni masih perlukah ia diperingati sebagai hari bersejarah?. Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita berkaca pada kebiasaan orang-orang Jepang yang tidak pernah menganggap Kuil Yasukuni sebagai tempat yang melecehkan harga diri mereka.
Sekadar digambarkan bahwa Yasukuni merupakan tempat yang menyimpan sebuah collective memory berupa luka lama yang hingga kini sulit terlupakan. Betapa tidak, di kuil yang dibangun tahun 1869 ini dimakamkan sekitar 2,5 juta orang Jepang yang gugur selama perang berlangsung. Demikian pentingnya tempat pemakaman para pahlawan yang terdiri atas prajurit, perawat, dan kaum terpelajar ini, sehingga banyak orang Jepang menganggapnya sebagai tempat yang patut dikunjungi untuk memberikan doa.
Simbol kekerasan (violence), juga dapat diketahui melalui kisah sebuah Piramida di Mexico. Dalam buah penanya Peter Berger (1974) berjudul Pyramids of Sacrifice: Political Ethnics and Social Change, menceritakan tentang piramida di Cholula ini sebagai peninggalan orang Indian-Aztec lima abad yang lalu. Tempat ini menurut catatan sejarah, pun terkenal menyimpan serangkaian kisah mengenaskan yang dialami oleh umat manusia.
Betapa tidak, proses pembangunan piramida ini menggunakan tenaga budak yang jumlahnya ribuan dan konon diantara mereka banyak yang mati baik karena kelaparan, kecelakaan, maupun karena siksaan dari para prajurit kaisar. Tidak hanya itu, wujud penyembahan pada dewa dalam wajah ritual berdasarkan kepercayaan penguasa Aztec, juga menelan korban manusia dimana bentuk sesajian persembahan itu adalah darah manusia. Tujuan persembahan ini yakni agar alam semesta selalu terjaga sekaligus merupakan pertanda abadinya kekuasaan sang kaisar.
Mencermati keberadaan Piramida di Cholula Mexico yang menyimpan serangkaian kisah tragis umat manusia dan Kuil Yasukuni yang dianggap sebagai simbol kekejaman, maka posisinya hampir sama dengan monumen korban 40.000 jiwa di Makassar sebagai simbol pembantaian. Karena itu, penting atau tidaknya diperingati terletak pada persoalan spirit yang dijadikan sebagai pilar argumen.
Maksudnya bahwa angka 40.000 jangan dianggap sebagai simbol kekalahan dan ketidakberdayaan orang-orang Sulsel yang dengan mudahnya dibantai. Sebaliknya, dianggap sebagai motivasi perjuangan untuk menyuluh semangat para pejuang, sebagaimana ungkapan bahwa ”sudah 40.000 jiwa yang menjadi korban kekejaman Belanda”. Ungkapan ini mengandung makna ajakan untuk semakin gigih berjuang.
Bukankah Barbara Sillars Harvey (1989) pun pernah menduga bahwa pada mulanya istilah kerugian atau korban mungkin mencakup tidak hanya yang meninggal akan tetapi juga yang terluka dan pengungsi, meski belakangan menjadi keperyaaan umum dan dogma resmi di Republik Indonesia bahwa 40.000 orang telah tewas di Sulawesi Selatan selama kampanye pasifikasi Westerling.
Akhirnya, di tengah sunyinya perbincangan dan peniadaan rangkaian acara peringatan hari Korban 40.000 jiwa ini berarti proses berdamai dengan sejarah sudah terjadi. Bahkan hal ini sama artinya Westerling sudah dimaafkan.***

Pernah Dimuat pada harian Fajar, 11 Desember 2010.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar