Kamis, 18 Februari 2010

MASIH SAKTIKAH PANCASILA?

Mempertanyakan perihal kesaktian Pancasila dalam kapasitasnya sebagai dasar negara bahkan ”ideologi” bangsa, tampaknya sangat penting terutama untuk menatap keindonesiaan kita hari ini dan masa mendatang. Betapa tidak, perjalanan panjang sejarah Indonesia sebagai negara yang katanya telah merdeka dan berdaulat hingga kini masih dihadapkan pada aneka persoalan serius.
Problema bangsa yang cukup memperihatinkan antara lain, ancaman disintegrasi oleh sejumlah konflik di tanah air, semangat nasionalisme dipertanyakan, keadilan sosial diragukan, keterwakilan rakyat disanksikan, semangat daerahisme yang semakin subur, dan sejumlah masalah lainnya. Akumulasi dari sejumlah masalah tersebut, menyebabkan semakin rapuhnya pondasi dan kroposnya pilar kebhinekaan yang dulu selalu dijadikan sebagai tag line atau semboyan bangsa Indonesia.
Pertanyaan menarik dikemukakan kemudian, yakni dari mana akar persoalan tersebut harus digali untuk menentukan ranting-ranting solusinya?. Untuk menjawab pertanyaan ini, maka tentu saja hampiran logika sosial sangat tepat digunakan terutama untuk mengetahui apakah benar Pancasila itu seperti yang dimengerti oleh orang-orang Indonesia sendiri serta seberapa kuat fungsi Pancasila menjadi dasar hidup bermasyarakat di Indonesia?.
Sejenak Menengok Sejarah
Jika ditilik dari aspek perubahan politiknya, maka sejak Indonesia memproklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 telah mengalami banyak perubahan yang sangat mendasar. Sebut saja peralihan dari rezim yang cenderung liberal ke bentuk otoriter yang akrab dikenal sebagai Demokrasi terpimpin. Kemudian perubahan ciri pemerintahan di bawah dominasi sipil ke peran kaum militer, dari sistem kepartaian yang multi-mayoritas ke sistem mayoritas tunggal, dan dari orde lama ke orde baru. Bahkan sebuah rezim bernama orde reformasi sebagai kekuatan politik baru menjadi satu babak tersendiri dari sejarah Indonesia kemudian.
Saat Indonesia meniti periode dengan nuansa sosio-politik tersendiri pada masing-masing masa tersebut, mereka tetap mengukuhkan Pancasila sebagai dasar dalam bertindak dan bahkan menyuarakan bahwa setiap kehendak akan lahirnya perubahan sesungguhnya atas nama Pancasila. Lihatlah ketika semangat revolusi diteriakkan atas nama Pancasila dan politik pun kemudian dilantik menjadi panglima.
Tengoklah saat semangat revolusi digantikan oleh kekuatan baru yakni spirit pembangunan dan pengembangan ekonomi dianggap sebagai dewi fortuna yang akan menyelamatkan rakyat dari penderitaan pun atas nama Pancasila. Bahkan kala semangat Nasionalisme, Agama, dan Komunisme dilebur secara integratif dalam satu ruh bernama NASAKOM, pun sebagian kalangan masih menganggapnya sebagai pengejawantahan dari Pancasila.
Keyakinan kukuh atas ideologi ini pada gilirannya menganggap bahwa jiwa Pancasila adalah jiwa NASAKOM dan karenanya setiap Pancasialis haruslah menjadi seorang nasakomis. Dari pandangan seperti inilah kemudian mendorong Soekarno melantik Pancasilan sebagai ”hogere optrekking” atau sintese yang lebih tinggi antara Declaration of Independent milik Amerika dan Manifesto Komunis kepunyaan Rusia.
Singkat cerita bahwa ketika rezim bercorak revolusioner ini tumbang, suasana kehidupan politik pun berubah menjadi pembangunan yang berorientasi pada pengembangan perekonomian yakni masa pemerintahan orde baru di bawah komando Soeharto. Pada awal pemerintahan rezim baru inilah terjadi redefinisi mengenai dasar negara dan tafsir tunggal atas Pancasila pun segera dibuat.
Eksistensi Pancasila
Pada tahun 1978 MPR mengesahkan ketetapan Nomor II/MPR/1978 mengenai Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang kemudian akrab dikenal sebagai P-4. Pasal 1 dari ketetapan tersebut berbunyi: ” Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ini tidak merupakan tafsir Pancasila sebagai dasar negara, dan juga tidak dimaksud menafsirkan Pancasila Dasar Negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, Batang Tubuh, dan penjelasannya”.
Selanjutnya dalam ayat 4 ketetapan tersebut berbunyi: ”Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ini merupakan penuntun dan pengangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara, serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik di pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh”.
Implikasi akan adanya tafsir tunggal atas Pancasila ini, pada gilirannya menjadikan dasar negara ini seolah sebagai sebuah konsensus pada tataran normatif meskipun belum tentu pada ranah nilai. Serentak dengan itu, kekuatan politik orde baru mempermulus ideologi ini tampil menjadi falsafah negara serta menjadi sumber dari segala sumber hukum.
Karena itu, tidak heran jika upaya implementasi dari sejumlah falsafah yang terkandung dalam Pancasila disosialisasikan melalui program penataran P-4. Sosialisasi dalam proyek indoktrinasi ini tidak hanya berlangsung dalam jajaran pegawai pemerintah akan tetapi juga berlaku pada peserta didik terutama saat mereka baru menduduki bangku sekolah atau kuliah.
Hal ini tentu saja dimaksudkan agar pengetahuan mengenai Pancasila sebagai pandangan hidup, keperibadian dan jiwa seluruh rakyat Indonesia tertatanam dalam benak setiap peserta didik. Serentak dengan itu, di setiap lingkungan pendidikan pun berlaku kententuan bahwa pretasi dan hasil belajar peserta didik tidak hanya dilihat dari aspek kognitif semata tetapi moral tidak kalah penting.
Dalam kondisi seperti inilah kewibawaan seorang guru, dosen, pimpinan di berbagai jajaran/instansi menjadi sangat tampak dan bahkan tindak penghormatan yang berlebihan tidak jarang menjadi pemandangan yang seolah sebuah kemutlakan. Singkatnya, bahwa Pancasila yang dikukuhkan sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara tidak hanya berfungsi sebagai ideologi politik tetapi juga telah menjadi pedoman hidup bermasyarakat mengawal nilai-nilai kultural bangsa Indonesia.
Meskipun demikian, dalam perkembangannya ideologi negara yang telah diprediksi akan tahan banting dan tetap eksis di tengah sejumlah tangan zaman ini pun mengalami semacam pendangkalan makna dan bahkan kehilangan pamor. Konsep Bhineka Tunggal Ika sebagai alat pemersatu bangsa, kini seolah hanya istilah klasik yang kurang dimengerti oleh sang pemiliknya sendiri. Konsekuensinya, Pancasila hari ini dan mungkin besok (tapi semoga tidak) seolah hanya kebanggaan apologik dari warisan masa lampau bangsa Indonesia.
Berbagai kenyataan inilah, yang mengajak kita untuk mempertanyakan kembali kesaktian Pancasila dan tentu saja banyak pihak yang memiliki andil dalam proses pendangkalan makna atas ideologi negara ini. Sebut saja program penataran P-4 bagi pegawai negeri dan pemimpin-pemimpin masyarakat yang pernah menjadi kewajiban, rupanya tidak steril dari bahaya sloganisme yang dangkal sebagaimana kekhawatiran Neils Mulder akan adanya kecenderungan kebudayaan Jawa. Kecurigaan akan adanya praktek dominasi kultur inilah yang menodai kebhinekaan.
Selain itu, kegagalan pemerintah mengimplementasikan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat juga menjadi faktor penting memuadarnya kesaktian Pancasila. Konsekuensinya, lahirlah penolakan atas sistem pemerintahan yang sentralistik untuk diubah menjadi desentralistik yang berimplikasi pada suburnya kembali semangat daerahisme.
Persoalan lain datang dari lembaga pendidikan kita yang seolah kurang memberi porsi yang layak atas pendidikan moral, sehingga berujung pada lahirnya generasi yang kabur akan identitas kultur nasionalnya sendiri. Singkatnya, bahwa kelima sila dari Pancasila yang seharusnya dipedomani dalam hidup berbangsa dan bernegara tampaknya mengalami problema saat ia harus berpapasan dengan sejumlah realitas kebangsaan hari ini.
Karena itu, pertanyaan menarik sekaligus bahan renungan kolektif kita yakni haruskah pembiaran atas semakin hilangnya kesaktian Pancasila diterima sebagai efek wajar dari sebuah modernitas?. Adakah kesadaran dalam wujud kemauan dan keinginan nasional mampu tercipta untuk memberi ruh sehingga Pancasila kembali sakti?. Inilah dua kunci utama yang menentukan apakah Pancasila itu masih sakti atau tidak. (Harian Fajar, 1 Oktober 2009).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar