Kamis, 18 Februari 2010

SUMPAH PEMUDA SETELAH 81 TAHUN

Judul artikel ini merupakan salah satu manifestasi bentuk keprihatinan sosial dan kekhawatiran kultural atas kondisi bangsa dewasa ini yang sedang bergumul dalam krisis identitas. Betapa tidak, gairah nasionalisme dalam berbagai dimensi kehidupan seolah bukan lagi bagian integral dalam berbangsa dan bernegara. Kerena itu, membutuhkan sebuah proses permenungan bersama melalui kesadaran sejarah.
Sadarkah kita bahwa para pendiri republik ini dengan susah payah dan nyawa sebagai taruhannya, telah menyatukan rasa fanatisme sukuistis-kedaerahan menjadi rasa persatuan berbasis keindonesiaan. Mengapa ia harus dikotak-kotakkan kembali dalam wajah otonomi daerah, yang dalam tataran praktisnya rasa kedaerahan kembali menjadi perekat. Bahkan pemekaran wilayah banyak terjadi, karena sentiment-community berdasarkan latar etnik.
Mencermati aneka persoalan bangsa sekaligus pudarnya rasa kebangsaan tersebut, menunjukkan bahwa substansi keindonesiaan itu memang seakan hilang secara perlahan. Representasi aspirasi dan amanah rakyat yang dahulu dititip di tangan segelintir orang karena dianggap memiliki cita-cita yang sama, sekarang tidak mampu memberi contoh dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan keterwakilan rakyat di dewan pun sekarang mulai digugat dan dipertanyakan.
Berangkat dari sejumlah persoalan kebangsaan dan keindonesiaan tersebut, maka sepertinya diperlukan sebuah spirit baru sumpah pemuda yang kontekstual dengan kondisi zaman. Meskipun demikian, menggali aspek historis Sumpah Pemuda tentu saja harus dilakukan untuk mengawal spirit baru tersebut.
Tentang Sumpah Pemuda
Jika ditelusuri secara historis maka dapat diketahui bahwa kelahiran Sumpah Pemuda dilatari oleh pertemuan antara organisasi pemuda lokal berkebudayaan nasional masa 1930-an dengan yang radikal. Dari sinilah kemudian terwujud sebuah kesatuan politik nasional yang berasal dari Perhimpunan Indonesia.
Sekadar digambarkan bahwa organisasi kedaerahan seperti Jong Java yang didirikan 1915, Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Celebes (1918), Jong Minahasa (1918), Sekar Roekoen (1919), dan Jong Batak Bond (1925). Mereka yang tergabung dalam organisasi kedaerahan ini, terdiri atas kaum pemuda dan pemudi yang berlatar keluarga berstatus sosial tinggi. Dengan kata lain bahwa mereka merupakan utusan dari daerahnya masing-masing untuk ditugaskan menuntut ilmu atau memperoleh pendidikan lanjutan di Pulau Jawa.
Benedict R. Anderson sang penulis buku ”Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistence”, menjelaskan bahwa kesamaan di antara mereka terletak pada pendidikan Belanda yang mereka miliki dan sikap terbuka terhadap kultur barat termasuk konsep kemandirian politik dan kebangsaan. Identitifikasi terhadap wilayah mereka inilah yang kemudian melahirkan semangat nasionalisme sekaligus mengakhiri kekonservatifan dalam spektrum politik nasional.
Kongres Pemuda II 28 Oktober 1928, pun lalu diperingati sebagai hari besar nasional di Indonesia. Hal ini tentu saja bukan sekadar sumpah untuk persatuan, tetapi karena pada saat kongres inilah pertama kali diperdengarkan lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman di depan publik.
Memaknai Indonesia
Indonesia dalam konteks harapan dan tataran realita sepertinya bagai api jauh dari panggang. Karena itu, menggugat realitas keindonesiaan kita di hari bersejarah ini, adalah sebuah tanggung jawab kultural dan tugas mulia terutama kaum muda yang peranannya dahulu telah diabadikan dalam deretan nama-nama founding-father dan bene maritus republik ini. Untuk menemukan Indonesia yang hilang, maka upaya menemukenali akar kata Indonesia dan latar historis pengadopsian istilah ini menjadi slogan integratif seharusnya dijadikan roh dan spirit untuk menghadirkan kembali cita-cita bangsa menuju masa depan yang menjanjikan.
Jika ditinjau dari asal usul penggunaannya, maka kata “Indonesia” awalnya hanya merupakan penyebutan (penamaan) para ilmuan Belanda untuk mahasiswanya yang berasal dari gugusan pulau yang kemudian bersatu dengan nama Indonesia. Karena kebiasaan menggunakan kata ini, sehingga suatu ketika saat dibutuhkan sebuah nama negara sebagai ultimate goal dari perjuangan para pemuda dalam kancah pergerakan nasional, maka nama ini kemudian diadopsi. Hanya dengan menambah satu kata lagi hingga menjadi “Indonesia Merdeka”, maka kedua istilah ini pun dinobatkan sebagai mekanisme intergrasi.
Prasyarat untuk itu sekaligus demi tujuan perjuangan, maka setiap orang harus bersedia menanggalkan segenap perbedaan berbau sukuistis dan sebaliknya diakumulir dalam satu gerakan kolektif berdasarkan cita-cita yang sama. Simbol perjuangan pun kemudian dilengkapi dengan perpaduan serarik kain merah dan putih, hingga menjadi sebuah bendera dengan masing-masing warna memiliki makna.
Penemuan slogan integratif kemudian menjadi spirit perjuangan, gerakan kolektif berprinsipkan persatuan pun mewarnai pencapaian cita-cita sehingga dengan istilah Indonesia, maka semangat perjuangan berdasarkan ikatan kedaerahan ditanggalkan. Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatra, Jong Minahasa, dan berbagai kelompok pejuang lainnya terakumulasi dalam nama yakni Indonesia.
Demikian pula secarik kain merah dan putih yang sebelumnya hanya tergeletak kaku serta hanya dapat dijadikan bahan pakaian, lalu seakan hidup dan memiliki roh. Ia berkibar bersama semangat kaum intelektual muda, penjajah harus diusir, Indonesia harus merdeka, dan hal ini bisa tercapai melalui persatuan.
Menganalisa secara interpretatif keinginan kuat para pemuda bangsa untuk mempersatukan aneka suku dari gugusan pulau dari Sabang hingga Marauke dalam satu bingkai negara kesatuan, maka persoalan kekuatan integrasi itu sangat menarik. Betapa tidak, pengajuan komitmen untuk mendirikan negara merdeka dalam peristiwa sumpah pemuda yang hanya dihadiri oleh sekitar 100 orang, tetapi mampu tampil sebagai representasi dari jumlah penduduk Indonesia kala itu yakni 50 juta. Mungkin di sinilah makna kebangsaan harus diletakkan dan diakui sebagai gejala psikologis “sense of belonging together”, yang terbentuk melalui keinginan bersatu karena memiliki sejarah (masa lalu) yang sama, sadar bahwa mereka adalah satu kesatuan, dan memiliki cita-cita yang sama.
Representasi kaum muda dalam mengemban amanah rakyat Indonesia, juga tercermin melalui peristiwa proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pada penghujung bunyi teks proklamasi tertera kalimat “atas nama bangsa Indonesia: Soekarno-Hatta”. Hal ini juga menunjukkan betapa saktinya istilah Indonesia yang berfungsi sebagai alat propaganda, dan kembali terjadi peristiwa sejarah penting mengenai peran kaum muda yang mampu tampil sebagai wakil rakyat Indonesia.
Menyadari negara yang akan dibangun ke depan adalah terdiri atas ragam etnik dan kultur, maka dinobatkan satu lagi slogan integratif yakni konsep “Bhineka Tunggal Ika”. Bahkan dalam proses penyelenggaraan pemerintahan dibuatkan semacam referensi yakni UUD 1945 dan Pancasila sebagai dasar negara sekaligus landasan dan sumber dari segala sumber hukum yang berlaku.
Spirit Baru Sumpah Pemuda
Persoalan lainnya sekitar krisis keindonesiaan yakni kebangsaan yang dalam teks sumpah pemuda disebutkan “berbangsa satu” dan benarkah kita masih berbangsa satu. Dengan menggunakan pendekatan imaginasi historis, maka pertanyaan philosofis yang muncul yakni mengapa rasa kebangsaan dalam wujud keterwakilan aspirasi dahulu relatif lebih mudah terjadi di antara perkembangan pola pikir masyarakat yang terbatas.
Sebaliknya, sekarang justru di tengah pengetahuan tentang konsep bernegara dalam kategori mapan tetapi begitu sulitnya rasa kebangsaan dalam bentuk mewakilkan aspirasi pada orang lain diwujudkan. Kursi kekuasaan diperebutkan, caci maki dan pencarian kesalahan orang lain secara politik menjadi kegemaran, dan kecenderungan ironis lainnya termasuk gonta-ganti pemimpin/penjabat karena alasan tidak mampu.
Mengapa ketidakmampuan itu tidak dijadikan mampu melalui dukungan kolektif dan bukannya mengganti dengan yang lain padahal jaminan kemampuan juga belum ada. Demikian pula tindakan korupsi di kalangan para penjabat, mencerminkan krisis rasa kebangsaan. Rasionalnya, mengapa mesti ada perbuatan korupsi untuk pengayaan diri secara pribadi sementara kondisi bangsa akibat krisis sangat memperihatinkan.
Disinilah pentingnya sebuah spirit baru sumpah pemuda dalam bentuk komitmen baru pula, yakni berbangsa satu yakni bangsa yang bebas dari korupsi, bangsa yang bebas dari tekanan dominasi asing, bangsa yang mencintai identitas kulturalnya sendiri. Spirit baru lainnya yakni berbahasa satu yakni kemampuan memiliki satu bahasa dalam menyelenggarakan pemerintahan dan dalam mewujudkan cita-cita nasional. Kemudian bertanah air satu yang direfleksikan dalam bentuk kesadaran bahwa faktor perbedaan letak geografis dan spasial bukan menjadi batas demarkasi atas nama perbedaan berdasarkan ukuran etnik yang rentan terhadap konflik.**

1 komentar:

  1. The Wynn casino and sports betting company - DrmCD
    The Wynn Las Vegas 목포 출장샵 and Encore Las Vegas are 경상남도 출장마사지 both rated highly by 경상남도 출장샵 the Las Vegas Business Directory, giving them 정읍 출장마사지 the distinction of 사천 출장안마 being

    BalasHapus